Gunung kita butuh istirahat, biarkan ia memulihkan diri



Saya pernah mendaki gunung Sumbing di Jawa Tengah,  pada saat gunungnya baru saja selesai terbakar, saat itu daerah seantero Pasar Setan hingga menjelang Watu Kotak masih menyisakan kepulan asap diantara hamparan luas yang gosong, masih ada juga beberapa titik yang masih menyimpan bara memerah yang tampak berkilauan jika ditiup angin pegunungan yang panas.

Saat itu sekitar bulan Oktober tahun 2012, gunung gunung di pulau Jawa memang ada beberapa yang terbakar, termasuk salah satu diantaranya adalah gunung Sumbing ini. Namun skala terbakarnya gunung gunung eksotis di pulau Jawa, tidaklah separah dan semengerikan seperti saat ini. Waktu itu kebakaran gunung adalah sebuah musibah yang durasinya tidak lama, dan juga arealnya sudah cukup terisolasi, sehingga sangat aman untuk dilalui para pendaki.

Saya tidaklah mendaki gunung Sumbing tersebut ketika apinya masih berkobar, saya melewati lintasan Pasar Setan menuju Watu Kotak pada saat api sudah padam, dan hanya menyisakan tumbuhan dan tanah yang gosong hitam. Namun, panasnya minta ampun, matahari terik, ditambah tiupan angin yang terasa panas, debu hitam, juga asap bekas kebakaran rasanya sudah sangat menyiksa sekali.  Ampun dah, rasanya saat itu, saya ingin segera berhenti menjadi pendaki gunung.

Saya memang kebanyakan memilih waktu untuk mendaki gunung pada siang hari, hanya ada dua kali seingat saya, saya mencoba mendaki gunung pada malam hari, yaitu di gunung Sindoro pada tahun 2010, dan juga gunung Merbabu pada 2009, saya mengunjungi gunung itu dengan memilih waktu mendakinya pada malam hari, dan rasanya seperti ada yang kurang, tidak sama jika dilakukan pada siang hari. Karena hal itu, selanjutnya saya tidak pernah lagi mendaki pada malam hari, termasuk di gunung Sumbing ini, saya tetap memilih untuk mendakinya di siang hari, meski pun tantangannya jadi berlipat ganda, karena selain terik matahari sendiri, ditengah jalur tanpa pohon yang menaungi, tempat  ini baru saja terbakar. Sehingga panasnya menjadi berlipat ganda.

Selain itu, saya juga sering mengunjungi sebuah gunung secara solo, alias mendaki sendiri.  Nah bisa sahabat bayangkan, betapa membosankannya mendaki sebuah gunung dengan jalur landai yang panjang tanpa pohon pelindung, di tengah terik matahari yang menyengat, dengan daerah sekeliling yang menghitam habis terbakar, dan tanpa ada teman ngobrol sepanjang jalan. Huh, itu sangat membosankan dan juga sekaligus melelahkan.


Saya juga masih mengingat saat itu, ketika saya bertemu dengan empat orang teman pendaki dari kota Bekasi, jika saya tidak salah ingat. Mereka dalam perjalanan turun, dan kami berpapasan di bawah sebuah pohon cukup rindang sekitar 500 meter sebelum tiba di Pasar Setan dari arah jalur Garung.  Dua orang teman dari rombongan rekan pendaki dari kota Bekasi ini tampaknya mengalami dehidrasi yang hebat, sementara dua lainnya masih cukup kuat saya perhatikan. 

Dua orang yang mengalami dehidrasi ini hanya meringkuk di bawah pohon rindang itu seolah kedinginan, bibir mereka yang kering tampak gemetar, sementara mata merah seperti orang yang kurang tidur, tampak sekali kondisi fisik mereka drop saat itu. 

�� bisa minta air Bang..? �, sapa salah seorang yang masih terlihat kuat diantara mereka sambil memandang memelas kepada saya yang baru saja tiba.

�.. Oh ya, tentu� �

Jawab saya sambil melepaskan sebuah botol Sigg ukuran 0,75 ml yang tergantung di shoulder strap carrier yang saya bawa. Botol ini memang biasa saya siapkan dalam setiap pendakian, dan menggantungkannya di strap tali carrier bagian depan agar  gampang diraih saat butuh. 

Kemudian botol yang masih penuh itu saya sodorkan ke mereka.

Dan dengan cepat, mulut botol itu bergiliran menempel di bibir ke empat pendaki itu. Dan tidak lama kemudian, botol itu sudah kosong, semuanya isinya pindah ke lambung empat orang tersebut.

�.. terimakasih banyak Bang, tapi mohon maaf airnya habis lho Bang��orang yang tadi meminta air, kembali menyodorkan botol yang sudah kosong kepada saya.

Michael Kors Women's MK3322 Darci Analog Display Analog Quartz Black Watch


�.. Nggak apa apa mas, saya masih punya� � jawab saya sambil menyambut botol kosong itu, kemudian kembali mengantungkannya di sebuah carabiner kecil di strap carrier. ( di dalam hati saya bergumam juga �.. Assemm,, saya bahkan belum seteguk pun meminum air dari botol ini�� ).

�.. Darimana mas..?� saya bertanya sambil meletakkan carrier tidak jauh dari tempat mereka duduk, dan kemudian juga duduk sedikit lebih ke atas dari mereka.

�.. Dari Bekasi Bang, Abang darimana �? �

Mereka balas bertanya, dua orang yang tampaknya dehidrasi berat tadi, sekarang sudah terlihat agak bertenaga dibanding beberapa saat sebelumnya.

�.. Saya dari Kalimantan 

�.. Kalimantan, jauhnya Bang..? � 

�.. tapi isteri saya dari kota Muntilan sini, jadi saya berangkatnya dari kota Muntilan ..� jawab saya.

 Memang sekitar tahun 2012 demam mendaki gunung tidak separah sekarang, sehingga untuk ukuran  orang dari Kalimantan, jauh jauh ke gunung Sumbing, bukanlah hal yang lazim. Berbeda dengan sekarang, yang tampaknya semua sudah sangat biasa dengan adanya macam macam open trip, ditambah mewabahnya virus untuk menjadi seorang adventurer. 

Saat ini, darimana pun seseorang berasal, tampaknya bukan hal yang luar biasa lagi jika ia telah menjamah banyak tempat di mana mana di Nusantara ini.

Pasar Setan gunung Sumbing
Kemudian kami pun ngobrol selama beberapa saat, mereka bercerita bagaimana mereka kehabisan air sejak turun dari puncak, dan jalurnya yang begitu menyengat sehingga dua orang anggotanya dehidrasi berat.




Saya tidak berlama lama berhenti di sana bersama mereka, tiupan angin yang kencang, ditambah rindangnya pohon itu membuat saya takut jika nanti jadi malas melangkah jika terlalu lama beristirahat. Jadi saya pun melanjutkan untuk mendaki.

***


Sekitar seminggu yang lalu, dunia pendakian gunung tanah air kembali dikejutkan dengan musibah besar yang yang merenggut nyawa enam atau tujuh orang pendaki di gunung Lawu, Jawa Timur. 

Para pendaki ini terjebak kebakaran hutan yang hebat, sehingga dalam kepungan asap, kobaran api yang hebat, juga rasa lelah, serta dahaga yang mencekik kerongkongan, mereka tak bisa berlari kemana mana lagi, sehingga akhirnya menjadi korban keganasan salah satu musibah besar ini.

Bagaimana pun juga ini adalah salah satu musibah besar yang mengharuskan kita belajar banyak darinya. Dan sementara kita lupakan dululah, beragam teori dan tulisan yang mendiskreditkan musibah ini sebagai kesalahan dan kekeliruan para pendaki, kita juga coba berpaling dari opini yang juga menyalahkan petugas jaga pos Cemoro Kandang dalam hal ini, yang tetap mengizinkan pendakian meskipun kondisi gunung sedang kritis, padahal di sisi lainnya, pos Cemoro Sewu sedang ditutup.

Sulit untuk dapat membayangkan bagaimana kondisi para pendaki yang menjadi korban di gunung Lawu itu, ketika kobaran api dan pekat asap mengurung mereka. Ketika di Sumbing itu saja, saya serasa mau tobat naik gunung saking panas dan gerahnya karena habis terbakar, apatah lagi para pendaki yang sungguh sungguh terjebak dalam kobaran api yang membara, Naudzubillah, semoga Allah SWT melindungi kita dari musibah yang serupa.

Di tengah kepungan asap dan api, dalam kondisi lelah dan letih, dahaga dan juga rasa putus asa, mereka harus berjibaku dalam usaha menyelamatkan nyawa mereka. Pendakian gunung yang mulanya akan terasa semacam syurga dunia, dengan menikmati awan berarak dan sunrise yang berkilau, berubah menjadi sebuah neraka dalam kobaran api yang menyala nyala.

Tidak ada yang menginginkan hal semacam ini terjadi dalam pendakian mereka, bahkan mungkin saja beberapa orang tidak akan senang dengan apa yang saya tulis saat ini. Dan menganggap saya membuka lagi luka bagi para pendaki yang telah menjadi korban yang mungkin bisa saja menyakiti perasaan keluarga yang ditinggalkannya.

Kebakaran hutan yang menghanguskan semua yang dilaluinya

Namun, jangan terlalu sensitive dulu, suatu hal yang buruk diulas kembali agar kita bisa belajar darinya.
Dan juga kita tidak tahu, siapa yang mesti disalahkan, dan dapat dimintai pertanggung jawabannya dalam musibah ini. 

Para pendaki kah..?, atau petugas jaga Cemoro Kandang kah..? atau musim kemarau yang menggila ini kah..?

Tidak ada yang dapat kita persalahkan dalam musibah ini, dan menyalahkan salah satu pihak dalam perkara yang semacam ini juga bukan hal yang bijaksana. Yang mesti kita lakukan saat ini, tentu hanyalah berharap hal semacam ini tidak akan terulang kembali. Semoga para korban diampuni segala dosa dan kesalahannya, di terima taubat dan amal baiknya oleh Sang Pemilik Segala, Allah SWT. Dan juga keluarga yang ditinggalkan semoga diberi ketabahan dalam menghadapi musibah yang menimpa.


Selanjutnya kita sebaiknya menahan diri sementara waktu untuk mendaki gunung, ditengah musim kemarau yang lebih panjang dari biasanya ini, dimana kebakaran hutan dan pegunungan telah menjadi sesuatu yang biasa.

Pegunungan yang indah dengan rumput sabana yang menghijau, saat ini telah banyak yang berubah menghitam dengan asap yang mengepul dimana mana. Angin sepoi sepoi yang biasa akan menidurkan kita alam buaian pegunungan, kini beberapa telah berubah menjadi angin panas yang membawa gerah menyengat, seolah olah bertiup dari lembah neraka, panas dan membakar.

Sementara kita harus libur dulu, membiarkan syurga syurga puncak gunung membenahi diri mereka sementara waktu, membiarkan mereka istirahat sejenak dalam keheningan, setelah sekian lama menjadi sangat terganggu dengan kagaduhan manusia yang mungunjunginya. 

Gunung kita butuh istirahat, biarkan mereka memulihkan diri.




Salam.

0 Response to "Gunung kita butuh istirahat, biarkan ia memulihkan diri"

Posting Komentar