Tiba dipuncak bukanlah akhir dari kisah pendakian ini, saya akan menceritakan kembali proses perjalanan turun yang berat, juga beberapa hal yang menjadi inti dari kisah ini yang merupakan pelajaran pelajaran hidup yang Insya Allah akan bermanfaat untuk kita fahami.
Semoga pembaca tidak bosan membacanya ya...
***
Diringkus lelah di jalur Ayik Ayik
Perjalanan turun dari puncak Mahameru berjalan cepat, sekitar jam 09:00 pagi kami sudah tiba kembali di basecamp Kalimati, kami adalah tim yang pertama kali turun dari puncak Mahameru, selama perjalanan turun sepanjang tanjakan terjal Mahameru tadi, kami banyak berjumpa dengan pendaki pendaki lain yang masih berjuang keras meraih puncak impian mereka, ada yang masih merangkak, ada yang terengah engah tak dapat menjawab ketika kami menyemangatinya, dan ada juga memilih menyerah, dan duduk di atas tanah di dekat tenda teman teman dari Bandung tadi.
Kelelahan yang amat sangat langsung membuat kami terlelap sesampainya di Kalimati, bahkan saya, mas Sugeng dan mas Theo, tergeletak di luar tenda karena kelelahan. Perubahan drastis temperatur dari dinginnya puncak Mahameru ke Kalimati yang sedikit lebih hangat membuat tubuh meriang dan serasa akan demam. Kurang lebih satu jam kemudian kami terjaga, sambil mempersiapkan makan pagi, kami packing untuk melanjutkan turun menuju Ranu Kumbolo.
Langkah pulang terasa lebih cepat, selalu saja begitu di setiap pendakian. Namun Allah SWT yang maha menguasai segala sesuatu berkenan memberi kami kesan lain saat perjalanan turun dari gunung Semeru. Dalam perjalanan turun kali ini, tepat di Cemoro Lawang, hujan mengguyur dengan derasnya, kami tunggu cukup lama namun tak reda juga. Diputuskan akhirnya, kami akan meneruskan perjalanan menuju Ranu Kumbolo ditengah guyuran hujan.
Rain cover untuk carrier, rain coat, segera dikenakan, namun itu tak banyak berarti, melewati Oro oro Ombo yang jalannya seolah telah menjadi selokan, sepatu yang waterproof pun, penuh air yang masuk dari bagian atasnya. Tiba di Ranu Kumbolo kami semua sudah lumayan basah kuyup, rain coat dengan kualitas yang belum benar benar memenuhi harapan, ditembus dengan sempurna oleh guyuran hujan yang luar biasa deras.
Di Ranu Kumbolo ada sedikit perdebatan diantara kami, apakah akan terus menuju Ranupane ataukah akan menginap di Ranu kumbolo. Melihat kondisi badan yang sudah basah kuyup, beberapa bagian tas juga sudah ikut basah, sedangkan hari masih lumayan siang, masih sekitar pukul 14:00 WIB saat itu, maka diputuskan kami akan melanjutkan perjalanan turun menuju Ranu Pane setelah sholat dzuhur, dan sesuai usul mas Theo, jalur turun kami tidak akan menempuh seperti jalur pendakian dari Watu Rejeng tempo hari, namun akan melalui jalur Ayik Ayik, sebuah jalur spektakuler yang singkat namun terjal. Sebelumnya di Ranu Kumbolo. Sholat dzuhur dilakukan dalam shelter yang dilapisi matras dan dalam kondisi pakaian yang lumayan basah.
Jalur Ayik Ayik dimulai dengan berbelok ke arah kiri sebelum mencapai bibir danau Ranu Kumbolo dan tanjakan menuju view point pintu masuk Ranu Kumbolo dari jalur Watu Rejeng. Dari Ranu Kumbolo jalur Ayik Ayik dibuka dengan melewati padang savana yang tak kalah indahnya dengan Oro Oro Ombo, padang savanna ini sering disebut dengan nama Pangonan Cilik, bedanya di sini dengan Oro Oro Ombo adalah medannya lebih variatif, ada menurun, naik, berundak lalu bukit kecil, pokoknya indah. Sayangnya kami tak bisa menikmati semua suguhan alam luar biasa ini karena selain lelah, hujan juga tak henti hentinya mengguyur.
Selepas padang savana, kami melipir ke kanan dan mendaki terus, terus dan terus hingga tiba di ujung bukit paling tinggi. Tak banyak yang kami bicarakan di sini, hujannya yang tak kunjung reda, rasa lelah yang luar biasa, dingin yang menggigit membuat semuanya larut dalam kecamuk pikiran masing masing. Saya berada di depan dalam perjalanan pulang yang mendaki terjal ini. Jalan licin dan becek kadang membuat kami terjengkang karena terpeleset, mas Haris yang paling sering mengomel, bagaimana tidak, melewati jalur ini salah satu kuku di jari kakinya terlepas. Mas Sugeng hanya diam berjalan terus dengan senyum pahit, setelah sampai di puncak bukit jalur ayik ayik baru ia katakan, sebenarnya ia hampir saja ingin membanting carrier untuk melepaskan rasa lelahnya, mas Theo tak hentinya memberi semangat, mengatakan bahwa sedikit lagi sampai Ranu pane, dan saya, sayapun hanya bisa tersenyum juga sambil meringis menahan dingin dan lelah.
Senyum menjadi mahal saat memilih pulang via jalur ayik ayik disaat hujan deras
Setelah melewati tanjakan panjang tadi, dan tiba di puncak bukit jalur ayik ayik ini maka perjalanan selanjutnya adalah turunan terus, tidak ada lagi tanjakan hingga tiba di pinggir hutan dan masuk ke areal perkebunan sayuran penduduk Ranu Pane. Jalur semacam ini adalah favorit bagi mas Haris dan mas Theo, mereka berdua melaju dengan cepat menembus hujan dan rumput basah, namun ini berita buruk buat saya, saya kurang menyukai jalur turun dan sering tertinggal.
Mendekati gelap kami sudah sampai di pinggir hutan lalu memasuki perkebunan sayur penduduk, hujan masih saja mengguyur tak henti hentinya, ternyata rumah yang menjadi base camp Jayameru Malang jaraknya juga tidak dekat dari tepi hutan ini, langkah yang mulai terseok seok dipaksa untuk terus melaju, gelap sudah merambat, kami harus bergegas, pokoknya cepat sampai, cepat istirahat, dan tentunya juga cepat mengisi perut. Rasa lapar yang melilit juga menjadi penyebab lambatnya kaki kami melangkah.
Mendekati kawasan perumahan penduduk, jalur yang ditempuh malah menjadi kian berbahaya, kami harus melewati tebing tebing dengan kemiringan yang mengerikan, jalan yang diguyur hujan seharian licinnya bukan main, di kiri dan kanan jalan hanya ada tanaman bawang daun, wortel, seledri dan kol, bukan jenis tanaman terbaik yang bisa dijadikan pegangan jika saat terjatuh. Tak bisa dibayangkan jika terpeleset, tentunya kami akan langsung menjadi seperti bola yang menggelinding hingga ke dasar jurang.
Untungnya semua itu selesai pada pukul sekitar 07:00 malam, kami tiba dirumah yang menjadi base camp Jayameru Malang, sambutan yang sangat ramah, teh hangat, perapian yang menyala, serta makanan yang mengepul, akhirnya tak lama kemudian mengantarkan kami terlelap dalam istirahat, setelah sebelumnya istirahat dan menjamak sholat yang tertinggal.
***
Harga sebuah nama baik
Keesokan paginya setelah dirasa cukup beristirahat, kami oleh mas Theo, di ajak ke sebuah rumah yang cukup besar untuk ukuran kampung di kaki gunung, di sana kami dijamu layaknya tamu besar oleh Ibu pemilik rumah. Hidangannya luar biasa nikmat, ada goreng kentang, ikan asin, sambal penyet dan yang tak terlupakan adalah rasa pedas yang spektakuler dari buah cabe Ranu pane, rasanya gila, pedas sekali.
Keramah tamahan penduduk dan acara makan makan di sini adalah juga merupakan buah kepercayaan penduduk terhadap nama baik Jayameru Malang yang tak akan bisa kami lupakan.
Sambil menunggu kedatangan pak Imron dari Tumpang untuk menjemput kami kembali, yang diperkirakan akan tiba sekitar tengah hari nanti, kami kembali ke base camp Ranu pane untuk melaporkan kepada petugas pos bahwa kami telah turun gunung. Di pos Ranupane kami juga mampir ke toko souvenir Arcopodo yang persis berada di samping pos pendakian, dan membeli beberapa cinderamata. Salah satu hal yang juga menarik perhatian kami ketika di pos Ranupane adalah sebuah kertas yang ditempel di papan dekat loket registrasi pendakian, kertas itu berisi daftar nama nama para pendaki yang meninggal dan terluka di gunung Semeru, hampir 50 nama tertulis di atas kertas itu, mulai dari nama besar Soe Hok Gie hingga Lisyono Putra yang baru saja meninggal beberapa bulan lalu di Ranu Kumbolo. Ada rasa ngeri dan kecil sekaligus melihat barisan daftar nama itu.
Daftar nama para pendaki yang terluka atau meninggal saat mendaki gunung Semeru
Keheningan Ranu Regulo
Dari base camp pendakian Ranupane, oleh mas Theo kami diajak menuju sebuah tempat yang juga tidak kalah menarik, lokasinya tidak jauh dari pos pendakian, mungkin hanya sekitar 500 meter mengikuti jalan setapak belakang pos yang sudah dilakukan pengerasan. Tempat ini indah namun kurang terawat, sepi, hening, dan menenangkan, ada sebuah rumah singgah buat turis di sini, namun saya tak melihat ada orang di dalamnya, baik orang yang menginap maupun orang yang mungkin disewa untuk merawat rumah singgah tersebut.
Tempat ini juga menawarkan eksotisme panorama danau yang jernih, hening, dan tenang. Tempat ini dinamakan Ranu Regulo, lama kami menikmati tempat ini dengan minum dan menyantap makanan ringan di sebuah anjungan yang menjorok ke dalam danau, secara pribadi saya sangat menyukai tempat ini, Ranu Regulo adalah tempat yang sangat nyaman untuk bermuhasabah dan menenangkan diri dari persoalan hidup di kota yang mungkin tak ada habisnya. Bukit bukit kecil dengan belukar hijau yang masih lebat mengelilingi danau menjadikan tempat ini asri dan natural sekali.
Menikmati panorama Ranu Regulo yang mendamaikan
Hari beranjak tengah hari memaksa kami untuk segera meninggalkan Ranu Regulo, takutnya pak Imron sudah menunggu. Dari Ranu Regulo kami berjalan menyusuri jalan desa Ranu pane, melewati masjid Al Barokah dan juga melewati anak anak yang sedang bermain di jalan desa dekat bangunan masjid. Penduduk di sini hidup penuh dengan toleransi dan damai, karena tak jauh dari masjid Al Barokah berdiri sebuah rumah yang dijadikan gereja oleh penduduk yang memeluk kepercayaan kristiani, tak jauh dari itu seperti yang saya gambarkan diawal, berdiri juga bangunan Pure yang menjadi tempat ibadah umat hindu, mereka hidup berdampingan dengan saling menghargai dan menghormati.
Tidak lama setelah kami tiba di rumah basecamp Jayameru tempat kami menginap tadi malam, pak Imron datang menjemput kami, bersama anak lelakinya, pak Imron dengan ramah menegur kami dan menanyakan tentang pendakian kami kemarin. Proses berpamitan kepada pemilik rumah yang baik hati, ibu yang memasakkan makanan nikmat untuk kami berlangsung singkat, namun di hati kami, mengguratkan kesan yang dalam dan indah. Kebaikan dan keramah tamahan mereka abadi dalam ingatan.
Terimakasih Jayameru Malang
Perjalanan dari Ranupane menuju Tumpang berlangsung singkat, singkat bukan dari waktunya, namun dari kesan yang ada, kami masih melewati rute yang sama seperti waktu berangkat kemarin, masih melewati Bandungan yang indah, bersama penduduk yang menjual hasil panennya ke Tumpang, melewati kebun apel yang ranum. Namun semua itu, sudah tidak maksimal bisa dinikmati, kelelahan dan rasa kantuk, ditambah goyangan truk pak Imron meniti jalanan yang berliku dan turun naik sempat membuat saya tertidur di antara tumpukan carrier dan karung sayuran.
Sekitar pukul 16:30 kami sudah tiba di Tumpang kembali, kali ini langsung diantar pak Imron ke jalan raya Tumpang � Malang, tak menunggu lama dari sini kami langsung melanjutkan perjalanan dengan menumpang angkot menuju Malang. Di Malang, oleh mas Theo kami di bawa ke rumah salah seorang anggota senior Jayameru Malang, sekali lagi kami sangat tersentuh dengan semua perlakuan dan keramah tamahan mereka selama kami bertamu. Begitu mendengar kedatangan kami yang baru saja turun dari Semeru bersama mas Theo, beberapa anggota senior Jayameru datang berkunjung dan bersilaturahmi dengan kami, beberapa orang bahkan ikut menemani hingga kami pulang meninggalkan kota Malang.
Dan inilah salah satu ciri khas dari sebuah kedewasaan dalam dunia petualangan dan pendakian gunung, tidak ada sikap gengsi, merasa lebih tahu, dan lebih hebat yang terlihat dalam diri mereka, hanya ada keramah tamahan yang tulus, dan semangat berbagi yang saling menghargai dan menyenangkan.
Karena begitulah seharusnya dunia dilihat, pengertian sahabat tidak hanya ditulis dalam serangkaian puisi dan kata kata manis semata, namun sungguh-sungguh terbersit dalam pertemuan dan keakraban yang tulus terjalin, serta keinginan untuk saling memberi manfaat dan menolong. Kami belajar banyak dari saudara saudara di Jayameru Malang, dengan tulisan ini juga saya mewakili mas Sugeng dan mas Haris, dan atas nama Arcopodo Adventure Club, sekali lagi kami mengucapkan terimakasih kepada Jayameru Malang.
Keesokan harinya kami berpisah, meninggalkan kenangan indah pendakian Mahameru bersama Jayameru Malang, mas Sugeng segera bertolak pulang ke Kalimantan sore harinya, saya dan mas Haris melanjutkan pendakian menuju ke gunung Merapi di Jawa Tengah, kisah pendakian ke Merapi ini akan saya tulis pada bagian lain.
Tamat.
Cerita perjalanan pendakian Mahameru selesai sampai disini.
Namun pelajaran dan hikmah terpentingnya, saya ceritakan pada bagian berikutnya disini.
0 Response to "Kesombongan Membunuhku Di Mahameru : Bagian Enam"
Posting Komentar