Setelah cerita bagian ketiga sebelumnya saya menuturkan camp pertama kami di tepi danau Ranukumbolo, saya akan melanjutkan cerita ini saat kami mulai beranjak tiba di Cemoro Lawang, ditepi Savana Oro Oro Ombo yang memukau...
***
Menikmati sejuk dan rimbunnya hutan pinus di Cemoro Lawang
Dari Cemoro Lawang perjalanan kembali dilanjutkan, dimulai dengan sedikit lurus masuk ke dalam hutan kemudian berbelok ke arah kanan , jalur tempuh kali ini melewati hutan pinus, sayangnya beberapa tahun sebelumnya, tempat ini pernah terbakar, sehingga di beberapa lokasi, jalur pendakian terpapar sinar matahari secara langsung dengan batang pohon tumbang menghitam bekas terbakar yang bergelimpangan di antara rumput dan ilalang di kanan kiri lintasan. Jalur ini sebenarnya landai dan santai, namun cukup melelahkan. Untungnya kesehatan perut saya yang mulai membaik membuat saya bisa melaluinya tanpa gangguan, bahkan dalam etape kali ini saya berada di depan mas Haris dan mas Sugeng.
Jambangan Kecil
Perhentiannya selanjutnya setelah Cemoro Lawang adalah Jambangan Kecil, kondisi normal butuh waktu sekitar 20 menit dari Cemoro Lawang ke tempat ini, Jambangan Kecil hanya sebuah tempat istirahat di tengah jalan dengan medan pasir yang agak miring, di sana tumbuh sebatang pohon pinus berdaun rindang yang belum begitu besar dan kami bisa berteduh di bawahnya. kami kembali beristirahat di sini masih bersama teman teman dari bandung tadi.
Istirahat kembali di Jambangan Kecil
Dari Jambangan Kecil perjalanan kembali di lanjutkan, kali ini rutenya melewati belukar yang lumayan lebat di kiri kanan jalan, dan sebelah kanan jalan ini menurut keterangan mas Theo terdapat jurang yang sangat dalam. Pergerakan para pendaki di sini umumnya melambat, karena jalurnya menanjak dan cukup panjang, berundak undak dan berliku, namun tetap mengarah ke kanan. Setelah 30 menit dari Jambangan Kecil tadi kami tiba di sebuah tempat lapang yang cukup luas dengan pohon pinus yang rindang menaungi atasnya, tempat ini persis berada di tengah belantara hutan pinus, banyak pendaki yang juga senang berhenti dan beristirahat di sini, sayangnya tempat ini tidak di beri nama secara khusus oleh para pendaki.
Jalur selanjutnya setelah tempat ini dimulai dengan sedikit turunan, lalu menanjak landai dan panjang persis seperti tanjakan cinta di atas Ranu Kumbolo tadi, kabar baiknya tanjakan kali ini berada dalam naungan hutan pinus yang lebat hingga tetap sejuk berjalan di dalamnya meskipun saat panas terik.
Jambangan Besar
Selanjutnya tempat yang akan menyambut kita adalah sebuah tempat di mana para pendaki biasa mengambil gambar gambar spektakuler Mahameru, dari sini jika cuaca cerah Mahameru yang berdiri megah dapat terlihat jelas. Tempat ini adalah sebuah tempat terbuka, dengan tanaman edelweis memenuhi kiri kanan jalan, Jambangan Besar adalah nama yang disematkan untuk tempat ini, namun sayangnya di kalangan para Pendaki nama Jambangan Besar kurang populer, mereka hanya tahu tempat ini sebagai tempat terbaik memotret Mahameru, tak peduli apa namanya.
Sangat disayangkan juga, saya dan mas Sugeng tidak dapat menikmati kemegahan Mahameru dari tempat ini, karena ketika kami lewat belakangan setelah mas Theo dan mas Haris yang berjalan di depan, Mahameru sedang berselimut kabut dan awan tebal, hanya mas Theo dan mas Haris yang sempat menyaksikan Mahameru menjulang dan mengambil beberapa gambar.
Mas Haris Di Jambangan Besar dengan background Mahameru
Tak bisa saya pungkiri juga, bahwa sakit perut dan rasa lemas belumlah sepenuhnya pulih, buktinya saya masih sering tertinggal dan duduk beristirahat, untunglah mas Sugeng selalu sabar menemani. Secara pribadi saya juga salut pada mas Haris, walaupun ini adalah pertama kalinya ia mendaki tapi semangat dan daya energinya luar biasa tangguh, dia benar benar sangat antusias.
Dari Jambangan Besar perjalanan melewati padang savana yang tidak terlalu lebar kembali dilalui, jalurnya kali ini menurun landai, dan menurun kian tajam ketika telah mencapai bibir hutan pinus lagi di seberang savana. Dari hutan pinus ini jalannya rata dan nyaman, hingga sekitar 15 menit kemudian kami telah tiba di sebuah padang savana kembali, kali ini lebih lebar dari sebelumnya, jauh agak ke tepi sebelah kanan di antara pohon pinus yang tumbuhnya tidak terlalu rapat, berdiri sebuah shelter, besarnya sama dengan shelter yang ada di Ranu Kumbolo. Di sekeliling shelter khususya bagian belakang berdiri sekitar 20 tenda dengan warna dan bentuk yang beragam, beberapa orang pendaki tampak sibuk dengan kegiatan masing masing, mas Haris dan mas Theo juga terlihat sudah duduk didekat sana.
Kalimati...
Kami sudah tiba di Kalimati, target perjalanan kami hari ini. Kalimati juga adalah base camp terakhir yang banyak digunakan para pendaki sebelum melakukan summit attack ke puncak Mahameru. Nama kali mati berarti sungai yang mati, memang di sini terdapat semacam ceruk besar bekas aliran lava gunung Semeru yang dipenuhi oleh pasir dan batu batuan, serta pohon pinus pada saat ini.
Di savana Kalimati yang luas, cerukan lebar bekas jalur lava tersebut terdapat di dua tempat, satu berada di sebelah kanan agak ke belakang shelter, jaraknya sekita 300 meter dari bangunan shelter, dan setiap pendaki akan melewati tempat ini jika melanjutkan pendakian menuju Arcopodo lalu ke Mahameru, lebar ceruk di beberapa bagian bahkan mencapai 15 meter hingga 20 meter, dengan kedalaman 4 hingga 5 meter. Satu ceruk besar lagi seperti selokan raksasa terdapat di sebelah kiri shelter, lebih kurang 300 meter juga dari bangunan shelter, ceruk ini memanjang hingga sampai di jurang yang sangat dalam seperti yang mas Theo ceritakan pada perjalanan selepas Jambangan Kecil tadi, jalur ceruk ini juga menjadi akses jalan untuk mencapai mata air satu satunya di Kalimati, yaitu mata air Sumbermani. Jalur ini juga tidak pernah sepi dari para pendaki yang berlalu lalang mengambil air.
Shelter Kalimati dilihat dari sisi sebalah kanan
Mata air Sumbermani
Setelah beristirahat sejenak, kami segera mendirikan tenda di sebelah kanan agak ke belakang shelter, tidak bisa menggunakan shelter sebagai base camp dan tempat menginap seperti yang kami lakukan di Ranu Kumbolo, karena sejak kami tiba di Kalimati,shelter sudah di isi oleh beberapa pendaki dari India dan Kanada kalau saya tidak salah. Selesai acara medirikan tenda, agenda selanjutnya adalah mengambil air, kami dan saya khususnya telah cukup lama mendengar tentang mata air satu satunya yang terdapat di shelter Kalimati, mata air itu biasa di sebut Sumbermani, saya tidak tahu secara persis mengapa sebutannya begitu.
Sumbermani terletak sekitar 2 km dari lokasi camp atau shelter, butuh waktu 30 menit untuk mencapainya dengan jalan santai, jalur menuju Sumbermani umumnya sudah jelas karena seringnya para pendaki melaluinya. Untuk menuju tempat ini kita berjalan dari camp lurus ke arah kiri, persis di sudut savana Kalimati, atau sudut sebelah kanan pintu masuk ke Kalimati jika dari arah Ranu Kumbolo tadi. Perjalanan ke Sumbermani akan melalui cerukan lebar, selanjutnya kita tinggal mengikuti cerukan menurun ini saja hingga nantinya tiba di sebuah tempat agak luas dengan di kiri dan kanan di pagari oleh dinding berlumut yang lembab.
Mata air Sumbermani bukanlah mata air yang besar seperti genangan air jernih yang dapat di minum, seperti sendang Drajad yang ada di gunung Lawu. Mata air sumbermani adalah tetesan tetesan air yang lumayan banyak dan tak pernah kering dari dinding lumut sebelah kanan cerukan, air ini luar biasa dingin, jernih, dan segarnya, dan karena tetesan dari lumutnya ini cukup banyak hingga dapat dikumpulkan menjadi satu aliran kecil yang bisa diberi pancuran dari dedaunan. Kami lumayan lama di sini, sekalian menunaikan sholat dzuhur dan ashar secara dijamak dan berjamaah di tengah ceruk yang agak datar dan bersih.
Keraguan dan rasa takut
Saya masih merasa kondisi saya belumlah benar benar pulih akibat serangan masuk angin semenjak di Tumpang dua hari yang lalu, saya masih merasa lemas, rasa dingin yang berlebihan dibanding yang lain. Dan yang paling berbahaya diantara semua penyakit itu adalah saya mulai merasa grogi, ragu dan takut untuk melanjutkan mendaki puncak Mahameru nanti malam, padahal sebelum masuk tenda dan beristirahat malam harinya, diputuskan bahwa kami akan mulai bergerak dan mendaki Mahameru sekitar jam 00:30 WIB dini hari.
Perasaan ragu dan takut yang menggelayut di hati saya, tentunya ini di mulai dengan rasa lemah dan rasa sakit. Jika mengikuti satu bisikan kelemahan itu, ingin rasanya saya sampaikan secara khusus kepada mas Sugeng, mas Haris dan mas Theo bahwa pendakian saya cukup sampai di Kalimati ini saja, saya tak dapat melanjutkan perjalanan ke Mahameru karena kondisi badan saya yang masih lemah dan lemas, mungkin saja mereka akan memahami saya, melihat saya begitu lambat dalam pendakian ini karena sakit, lalu kemudian mereka akan mendaki bertiga saja, saya tinggal di tenda, berselimut sleeping bag tebal dan meringkuk menikmati rasa lemah dan pembenaran terhadap sebuah sikap mudah meyerah dan meragukan diri sendiri ini.
Lalu sesungguhnya jika hal itu benar benar terjadi, apa hal yang pantas disematkan pada saya,? pendaki yang gagal meraih puncak, atau lebih lengkapnya pendaki yang gagal mencapai puncak Mahameru karena tiba tiba sakit di Kalimati. Dan semua sebutan itu, terdapat dua kata kunci yang menjadi penentu yaitu kata �pendaki� dan kata � gagal�, jadi jika saya mengambil keputusan untuk patuh pada suara kelemahan itu, maka saya akan memperoleh sebuah gelar yang lumayan memprihatinkan untuk didengar, yaitu pendaki gagal.
Memang sayapun harus realistis melihat perkembangan kondisi fisik saya sendiri, tidak ada yang memaksakan untuk harus bisa mencapai sebuah puncak gunung dalam setiap pendakian. Memaksakan diri juga sangat tidak dianjurkan, dalam kondisi sakit, memaksakan diri justru akan membuat keadaan semakin sulit, dan jika terjadi sesuatu yang buruk, maka yang akan menanggung resiko bukan hanya saya sendiri, saya juga akan mempersulit banyak orang lain.
Namun secara seksama, kita pribadipun sebenarnya dapat mengukur kemampuan kita sendiri secara jujur dan bertanggung jawab. Dapat kita bedakan dalam hati kecil kita sebenarnya, apakah penyakit yang kita derita memang sungguh sungguh akan membuat kita lebih cedera saat dipaksakan melanjutkan pendakian, ataukah ini hanya karena � semangat tempur � yang mulai gembos. Dan jika ini disebabkan oleh semangat tempur yang mulai terpuruk, maka tidak ada obat yang paling mujarab saat itu selain memaksakan diri, tegas dan keras pada diri sendiri.
Namun lebih dari semua itu, di saat seperti itulah mental seorang pemenang menentukan hasil akhir. Suara kelemahan akan menggiring saya pada sebuah kesimpulan keseluruhan dari sikap saya, yakni sebagai seorang pecundang. Saya akan mencari ribuan alasan yang kira kira akan masuk akal dan dapat diterima untuk membenarkan semua sikap saya mengapa saya gagal mencapai puncak Mahameru. Lalu, saya akan terbiasa mendengarkan kalimat kalimat indah penuh kelemahan ketika turun gunung nantinya.
Oh pantas saja dia tidak sampai puncak Mahameru, ia kan sakit sejak awal mendaki...
Bagaimana dia bisa sampai puncak, dia kan sakit perut, dan di gunung itu berbahaya lho...
Dia sakit parah bro,, maksain mendaki artinya cari mampus..
Ketika telinga saya sudah akrab dengan kalimat kalimat seperti itu, secara perlahan sikap mental sayapun akan terbentuk sebagai pecundang, yang menikmati kelemahan dan senang untuk mengasihani diri sendiri. Omongan omongan yang menjelaskan bahwa satu satunya alasan mengapa saya tidak bisa ke puncak adalah karena sakit secara fisik, akan memapah jiwa dan kepribadian saya menjadi sesosok orang yang benar benar sakit secara mental.
Dan saya tidak akan membiarkan hal itu terjadi...
***
Bersambung ke Bagian Lima
0 Response to "Kesombongan Membunuhku Di Mahameru : Bagian Empat"
Posting Komentar