Pendakian gunung semestinya menjadi tempat untuk muhasabah diri
Hampir seluruh daerah di Nusantara ini, tidak ada yang lepas dari pengaruh budaya supranatural, karena mungkin telah menjadi akar yang kuat di kalangan masyarakat Indonesia, bahwa segala sesuatu yang kadang tidak dapat lagi dijelaskan dengan akal sehat dan logika ilmiah, akan segera dihubungkan dengan dunia mistis dan metafisik. Di setiap daerah mempunyai ceritera yang beragam, banyak sekali, dari ujung Papua sana hingga ke pulau Sabang, nun jauh diujung Aceh, penuh dengan banyaknya dongeng, legenda, mitos, kultur, dan kepercayaan yang sifatnya gaib dan mistik, dan tidak sedikit dari hal tersebut dipercaya dan diyakini hingga saat ini, bahkan terkadang oleh kalangan yang katanya terpelajar sekalipun.
Animo masyarakat Indonesia terhadap hal hal yang berbau alam gaib, memang sangat tinggi, kita tidak dapat mengingkari itu. Lihatlah bukti berapa banyak sinetron dan film yang bertemakan hal ini, sebut saja beberapa film yang akrab ditelinga masyarakat, pasti daftar film misterinya akan sangat panjang. Belum lagi media cetak pun ada banyak yang khusus membahas masalah klenik seperti ini, dan reality show pun jelas tidak mau ketinggalan, bejibun tayangan yang bercerita hantu hantuan dan macam macam penghuni alam gaib seperti ini dilayar kaca, dan tentu saja acara ini disukai banyak pemirsa.
Sebagai bagian dari budaya yang telah berakar kuat, kita memang tidak dapat lepas dari hal semacam itu. Namun sebagai insan yang beragama, khususnya islam, tentu kita memiliki batasan batasan yang harus kita patuhi, supaya kita jangan sampai terjebak pada lumpur sirik dan kemusyrikan, yang pada akhirnya menjadikan kita seperti seorang yang tak bertuhan saja nantinya.
Seperti yang kita ketahui bersama, salah satu pondasi dasar keimanan seorang muslim adalah percaya dan yakin kepada qadha dan qadar, kepada hal hal yang bersifat gaib. Dan ini mutlak, seorang muslim harus memepercayainya, karena masuk salah satu dari rukun iman. Keimanan kita kepada hal hal gaib ini, hendaknya didasari pemahaman bahwa segala sesuatu yang ada dalam dunia ini, adalah dibawah kekuasaan dan otoritas Allah SWT semata, apapun itu bentuknya.
Yang memprihatinkan dari fenomena semacam ini kadang menggiring pola berpikir kita, menjadikan ketakutan kita kepada hal hal gaib, yang konotasinya buruk, seperti Jin, setan, hantu, dhemit, tuyul, pocong, kuntilanak, dan apapun itu sebutannya, melebihi ketakutan ( ketawakkalan ) kita kepada Allah Yang Maha Perkasa. Yang memang pada hakikatnya, tentu saja harus sangat berbeda jauh antara ketakutan kepada mahluk, dan tingkat ketakutan kepada sang Khalik.
Jika pada mahluk tak kasat mata dan mengerikan seperti disebutkan diatas, ketakutan kita berdasar pada kengerian, rasa seram, dan horor. Namun jauh daripada itu, jenis ketakutan yang kita harusnya miliki terhadap yang Maha Perkasa, adalah jenis �ketakutan� yang berbeda. Sebuah leburan dari semua rasa cinta, kasih, sayang, rindu, harap, takut, takjub, damba, dan perasaan puncak lainnya, yang pada titik leburnya menjadikan kita sebagai makhluk, seumpama mabuk kepayang akan rasa cinta kepada Sang Mutlak, Allah Yang Maha Bijaksana. Hakikat �ketakutan� semacam inilah yang harusnya hadir dalam diri kita, jauh mengangkasa diatas rasa takut yang lain.
Ambillah waktu di gunung untuk berpikir secara mendalam, bukan hanya sekedar refreshing dan having fun semata mata.
Berbicara mengenai mistisme sebuah pendakian gunung, menyikapinya kita tentu tak boleh lepas dari beberapa hal mendasar yang telah kita bicarakan diawal. Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa gunung gunung, puncak puncaknya, memiliki sebuah kefasihan qudrati yang penuh makna dan pelajaran. Terlalu banyak kisah yang dapat kita temukan bahwa puncak gunung merupakan astana bagi bersemayamnya roh roh suci pada kepercayaan tertentu. Pun dapat kita temukan dengan sangat jelas bahwa gunung juga menjadi madrasah untuk manusia, seperti yang kita ketahui bersama bahwa Rasullullah SAW, Muhammad SAW yang mulia, banyak bertafakkur di bukit Cahaya Gua Hira, sebelum Allah SWT mengutus malaikat Jibril untuk menyampaikan wahyu-Nya. Sirah senada dapat pula kita temukan saat menelusuri kisah nabi Musa, yang mendaki ke bukit Tursina untuk memperoleh petunjuk dari Allah Rabbul Izzati. Dalam kepercayaan bangsa romawi kuno pun banyak sekali kita temui, bahwa dewa tertinggi mereka, Zeus, mereka yakini bertahta di gunung Olympus. Pendek kata, bahwa gunung dan puncak puncaknya, tidak dapat kita sangkal, memang merupakan sebuah ranah pemgembalian pengembaraan kedalam lingkup Ilahiah, da itu sudah dikenal sejak lama.
Tidak akan pernah ada habisnya jika ingin bercerita tentang ragam bentuk mistis gunung gunung di Nusantara ini,hampir setiap orang seolah fasih menuturkannya. Menyikapi hal semacam ini, kita tentunya dituntut untuk lebih bijaksana.
Sebagai seorang yang mencintai alam, atau mencintai kegiatan di alam, khususnya pendakian gunung, satu hal yang harus kita garis bawahi bersama, bahwa kita semestinya harus menjadikan nilai mistisme ini sebagai satu bagian penting yang tak dapat terpisahkan dari kegiatan kita. Tentu saja yang kita maksud adalah nilai mistis yang berdimensi spiritual, yang akan bermuara kepada mendekatkan diri kita kepada Tuhan, atau berma�rifat kepada Allah Yang Maha Kuasa, bukan jenis mistisme yamg dimetaforakan secara salah kaprah, yang berdimensi kepada kekufuran dan khurafat, yang pada ujungnya akan semakin menjauhkan kita dari nilai nilai kesempurnaan seorang khalifah di bumi ini.
Sebagai seorang yang senang dengan pendakian gunung, kebijaksanaan kita dalam menyikapi berbagai mitos sangat diperlukan.
Tersebarnya secara luas dan memasyarakat hal hal yang berbau mistik dan metafisik di pegunungan , selain mungkin itu memang merupakan sebuah ceritera yang telah menjadi kepercayaan klasik warga sekitarnya, juga dapat saja bertujuan kepada hal yang lebih modern, umpamanya sebagai daya tarik wisata, ataupun pada tingkat diatasnya, upaya perlindungan kawasan pegunungan dari gangguan manusia manusia jahil tidak bertanggung jawab.
Hal ini dapat saja terjadi mengingat betapa besar pengaruhnya budaya mistisme pada masyarakat Indonesia. Seseorang dapat saja tidak tertarik pada sepoi angin dibawah cahaya rembulan dipadang rumput berbintang, ditelisik gemericik air terjun dalam balutan kabut pepohonan. Namun terkadang, jika ditambahi sedikit kisah dan mistisme, bahwa di padang rumput tersebut adalah tempat bersemayamnya dewi anu atau dewa anu, lalu air terjunnya adalah tempat pemandian mereka, yang barang siapa mandi disana pada malam bulan purnama, akan bisa menjadi awet muda, cantik jelita, tampan mempesona, maka dipastikan, daya tarik tempat tersebut akan kian sangat memikat.
Efek semacam ini juga dapat diorientasikan pada jenis tujuan yang berbeda, seperti upaya perlindungan hutan pegunungan. Dapat kita analogikan seperti seseorang yang gemar berburu, mungkin saja tidak takut pada ular berbisa, babi hutan yang bertaring panjang, atau macan beringas yang berkeliaran, namun tatkala ditambahkan bahwa sebuah daerah adalah hutan larangan, yang jika dilanggar akan terkena kutukan, kemungkinan besar hanya tersisa sedikit pemburu yang masih berani mengarahkan laras senapannya ke kawasan hutan tersebut.
Be a wise person, take a time to think about life in your adventure
Kembali lagi harus kita tegaskan bahwa dalam menyikapi hal hal seperti ini, sebagai seorang petualang, kebijaksanaan kita sangat dituntut. Dalam sebuah tulisan tentang spiritualisme pendakian, kita pernah berbicara tentang niat dan norma kita dalam berkegiatan di alam bebas, khususnya mendaki gunung. Adalah bukan sekedar adventure dan having fun semata, namun lebih kepada menjadikan gunung sebagai madrasah bagi kita untuk lebih banyak bermuhasabah, dan melakukan perenungan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Kita harus lebih memupuk keyakinan dan memperteguhnya, bahwa dalam apapun kejadian, dalam bagaimanapun bentuk kehidupan, semua adalah dalam ruang lingkup kekuasaan Allah SWT. Tidak akan gugur sehelai daun dari pohonnya, kecuali dengan seizin Allah, tidak akan terlepas seutas rambut dari kepala kita, kecuali dengan izin Allah Yang Maha Perkasa. Tidak ada satu pun makhluk di dunia ini yang dapat menandingi atau menyamai kekuasaan Allah SWT, Maha Suci Allah dari anggapan orang orang yang berpikiran demikian.
Jadi siapaun kita adanya, dimanapun gunung kita ziarahi, bagaimanapun bentuk puncak yang kita datangi, nilai mistisme spiritual adalah sesuatu yang tidak dapat kita kesampingkan, karena mistisme spiritual yang benar, semuanya akan berorientasi kepada ke- Maha Kuasaan Tuhan, Allah SWT.
Jika bukan untuk merenungi pengabdian dan penghambaan kepada Allah Yang Maha Esa, lantas kemanakah lagi seharusnya, tujuan perenungan, dan perjalanan pendakian ini kita lakukan...?
Salam.
Referensi : Buletin EAN edisi 29, Des 2003.
Foto : Google dan koleksi pribadi.
0 Response to "Mistisme Pendakian "
Posting Komentar