Kesombongan Membunuhku Di Mahameru : Bagian Lima

Pada cerita sebelumnya, saya telah menceritakan perjalanan kami dari Oro Oro Ombo hingga di Kalimati, juga saya telah menceritakan keraguan dan ketakutan yang sempat menyerang saya untuk melakukan pendakian ke puncak, berikut saya akan kembali menuturkan apa yang akan terjadi setelah hal itu.

***




Malam harinya hujan mengguyur cukup lebat di Mahameru dan Kalimati, ketika mas Sugeng, mas Haris, dan mas Theo sudah terlelap di dalam tenda, Saya berjalan ke arah emperan shelter, di mana para porter yang  mengantar pendaki dari India dan Kanada berada, porter itu berjumlah 4 orang, semuanya penduduk desa Ranu pane, yang mengantar pendaki dari India dan Kanada hanya 2 porter, yang dua lagi mengantar pendaki Domestik, tapi saya kurang pasti darimana asalnya. 

Para porter itu menyalakan api unggun yang lumayan untuk menghangatkan badan di tengah guyuran hujan, api unggun ini juga menjadi tempat mereka memasak makanan ala kadarnya untuk mengganjal perut. Saya ikut bergabung bersama mereka, mengobrol dan sesekali tertawa mendengar gurauan mereka yang khas kampung Ranu pane. Kemudian beberapa pendaki dari tenda lain termasuk mas Theo, ikut bergabung bersama kami sambil menghangatkan diri di dekat api unggun.




Serabut harapan dan kekuatan kian tegas muncul dalam kondisi seperti itu, saya tak boleh menyerah, tak ada yang dapat membuat saya menyerah, saya memang sakit karena kesombongan saya sendiri, tapi saya tetap tidak boleh menyerah. Saya sudah sejauh ini dari Kalimantan dan hanya berakhir di Kalimati, itu tidak akan terjadi. 

Sambil kembali melangkah menuju tenda, hujan sudah berhenti menyisakan tanah pasir yang basah, saya mengumpulkan tekad yang sempat terserak. Membuka pintu tenda dan menemukan mas Sugeng dan masih Haris sudah terjaga. 

� ayo kita siapkan semua perlengkapan ke puncak mas, air, senter, headlamp, gaiter, sepatu, makanan, kamera dan lainnya, agar nanti kita sudah tidak repot lagi kalau sudah mau jalan..�


***



Menuju Mahameru

Sekitar pukul 00:30 WIB kami semua sudah bersiap di luar tenda, sebelumnya segelas sereal hangat telah mengisi perut sebagai bahan bakar pemanas. Beberapa pendaki lain juga sudah bersiap, bahkan beberapa tim sudah berjalan memulai pendakian puncak. Rasa ragu dan takut kembali menghinggapi hati saya, tapi tak ada waktu untuk memperdulikannya, setelah berdoa yang di pimpin oleh mas Theo, kami mulai melangkahkan kaki menuju tanah impian kami, puncak Mahameru.


Lintasan menuju Mahameru selepas shelter Kalimati
 





Perjalanan menuju puncak tertinggi di pulau Jawa ini, dari Kalimati lintasannya di buka dengan melintasi padang rumput sepanjang hampir 300 meter hingga ke ujung sebelah kanan savana Kalimati, di ujung savana ini kita akan menuruni tebing cerukan seperti yang saya sebutkan di awal tadi, selepas cerukan ini jalur hanya kelihatan lebih gelap, kerimbunan pohon pinus menjadikan malam di kawasan ini lebih terasa pekat. Namun salah satu kabar baik sesuai perhitungan  sebelum menetapkan waktu pendakian, saya telah mengkalkulasi bahwa pada malam malam pendakian nanti, kami akan selalu ditemani oleh lembut cahaya bulan purnama atau mendekati purnama, dan benar saja, setelah diguyur hujan yang lumayan deras, langit Mahameru kembali cerah lengkap dengan tahta bulan  yang turut  menerangi.

Langkah kaki dan bunyi tapak sepatu berderap di tengah malam menumbus hutan di atas Kalimati, malam terang bulan yang samar ditambah cahaya headlamp serta senter di tangan membuat kami lebih mudah mengenal medan. Di depan, mas Theo tak hentinya selalu mengingatkan untuk selalu berhati hati melangkah. Lintasan setelah Kalimati sekitar sepanjang 500 meter memang agak landai, namun yang ditemui setelah itu adalah sebuah tebing curam yang terjal dan harus ditempuh, disinilah dimulai inti dari pendakian Mahameru, menanjak tajam  dengan di kiri dan kanan banyak terdapat jurang menganga. Jalur ini masih penuh hutan pinus yang lumayan lebat, namun karena cahaya bulan yang ikut berpendar membuat kami kadang tidak perlu menyalakan senter dan headlamp.

Napas saya tersengal sengal menempus jalur terjal ini di tengah malam, susunan barisan masih seperti sebelumnya mas Theo di depan, lalu mas Haris, kemudian mas Sugeng, dan saya.  Dan satu berita baiknya lagi ternyata kami adalah tim pertama yang bergerak menuju puncak, tim yang sebelumnya saya pikir sudah bergerak lebih lebih dulu ternyata belum jalan, Mereka bergerak setelah kami, karena dalam perjalanan kami menuju puncak di tengah hutan pinus yang dingin, hiruk pikuk pendaki yang mendaki di bawah kami jelas terdengar.

Malam itu, tak kurang dari sekitar 50 orang pendaki yang berjuang untuk meraih Mahameru. Berasal dari berbagai macam tim, namun rata rata semuanya dari Indonesia, pendaki dari India dan Kanada yang ada di shelter Kalimati saya belum melihat jika mereka juga ikut summit attack malam ini. Perjalanan terus dilanjutkan, medan tak banyak berubah, tanjakan yang tidak putus putus terus menghadang langkah kaki kami di tengah belantara hutan pinus.
Setelah sekitar 1 jam berjalan kami tiba di satu tempat dataran kecil yang bersih dikelilingi oleh pohon pinus yang besar besar, tempat ini  dapat menampung 2 -3 tenda ukuran sedang, sekitar 20 meter di bagian kiri dan kanan tempat ini  terdapat jurang yang dalam dan gelap, jurang yang sebelah kanan disebut Blank 75, Death Zone nya gunung Semeru,  itu namanya jika saya tidak keliru.


Arcopodo...

� ini dia Arcopodo mas Anton, kita istirahat dulu di sini...�  ujar mas Theo menoleh ke arah saya.

Ada sebuah perasaan haru yang masuk kedalam relung hati saya, seperti perasaan senang ketika seseorang yang telah lama rindu untuk pulang, kemudian tiba di kampung halamannya kembali. 

Bagaimana tidak, Arcopodo adalah tempat berawalnya semua inspirasi tentang mimpi mimpi besar saya, nama usaha yang saya buka, toko outdoor yang masih kecil yang saya baru saja rintis , komunitas pendaki gunung yang baru saja saya bentuk, semuanya namanya berasal dari tempat ini, tempat yang sekarang saya duduk di atasnya, Arcopodo. 

Sesuai dengan janji saya sebelumnya, jika telah tiba di Arcopodo, maka saya akan melakukan sujud syukur dan mencium tanah Arcopodo. Jadi di tengah malam yang gelap dan dingin, di bawah rindang pohon pinus dan remang cahaya bulan, disaksikan oleh mas Theo, mas Sugeng, dan mas Haris, saya bersujud mencium tanah Arcopodo, dan berjanji untuk menjadikan namanya sebagai nama sebuah usaha  bisnis besar yang kuat, dan bermanfaat di kemudian hari,  aamiin..

Di atas Arcopodo, tidak jauh sekitar limapuluh meter jaraknya, ada sebuah tempat datar kembali, di sana berdiri sebuah tenda, dan ternyata isinya adalah lima orang teman dari bandung yang kami jumpai di Cemoro Lawang kemarin. Wah hebat juga, mereka mendirikan camp di tempat tertinggi di antara para pendaki Semeru yang lain malam ini. 

Kami cukup lama berhenti dan ngobrol di tempat itu, mas Theo dan mas Haris, malah sempat ikut ngobrol di dalam tenda mereka, sedangkan saya dan mas Sugeng hanya di depan tenda bersama salah seorang dari mereka yang menyalakan api unggun kecil. Di tempat ini juga untuk yang pertama kalinya kami mendengar dan melihat dentuman dari puncak Mahameru dan asap sulfatara yang membumbung tinggi ke angkasa.
� itu tujuan kita..� ucap mas Theo sambil menunjuk ke puncak yang mengepul itu. 

Momen ini istimewa, melihat target kita yang jauh, tinggi, besar dan sulit di jangkau namun tergambar dengan jelas, ada rasa takut, kagum, dan haru berkecamuk dalam hati. Momen yang satu ini terekam dengan sangat  baik di memori mas Haris, beliau sangat menyukai momen ini katanya.

Ajakan untuk menuju puncak berbarengan dari mas Theo, langsung disambut baik oleh kelima orang teman dari bandung  itu, sewaktu  menunggu mereka bersiap, pendaki pendaki yang berbarengan berjalan di belakang kami dari Kalimati tadi berdatangan satu demi satu, ada yang berhenti sebentar dan ada juga yang langsung saja meneruskan perjalanan menuju puncak.



Kelik dan Cemoro Tunggal

Setelah selesai teman teman dari Bandung itu bersiap, kami berjalan memulai pendakian kembali, di depan kami sekarang tak kurang dari 20 pendaki sudah berbaris menuju Mahameru, di belakang pun masih banyak, beberapa sudah terlihat, beberapa lagi masih di dalam keremangan hutan pinus Arcopodo.

Belum jauh kami melangkah, kami sudah tiba di sebuah tempat yang jalan di jalur punggungannya sudah terputus-putus, tergerus oleh pasir, dan menjadi jurang dangkal yang juga potensial membahayakan jika kurang berhati hati, seperti yang mas Theo katakan, tempat ini adalah tempat paling banyak menyimpan cerita suram Mahameru, di beberapa sudut ada hampir 15 buah papan peringatan kematian para pendaki, tempat ini disebut dengan nama Kelik, atau zona tonggak  kematian  para pendaki gunung zemeru.

Di pos Kelik, di bawah Cemoro Tunggal, ( poto diambil saat perjalanan turun )


Setelah Kelik, inilah inti dari semua pendakian gunung Semeru. Tanjakan pasir yang seolah tak ada habisnya, semua permukaan di depan mata yang menanjak tajam terlihat hanya ada pasir dan batuan semata. Di tanjakan inilah sesungguhnya semua tekad, keinginan, kekuatan, niat dan mental di uji penuh, tidak sedikit juga para pendaki yang gagal melewati tantangan terakhir menuju Mahameru ini. Ada yang baru setengah jalan lalu menyerah, ada bahkan yang hanya sampai di Kelik lalu patah semangat untuk menjangkau Mahameru.

Sebenarnya di atas pos Kelik ini ada satu tempat juga yang lumayan familiar, yaitu Cemoro Tunggal. Namun saat ini, pohon cemara yang menjadi ikon itu sudah tumbang, pada perjalanan turun kami masih bisa melihat pohon itu tergeletak diatas pasir Mahameru dengan daunnya yang menguning dan mulai berguguran.

Di depan kami para pendaki berbaris bergerak lambat, sedangkan di belakang juga demikian, pendaki berbaris tertatih tatih menanjak ujian akhir mereka.  Waktu itu sudah menunjukkan pukul 02:00 dini hari, mas Haris yang sangat bersemangat tak terhentikan mendahului semua pendaki di depannya, hingga berada paling depan dengan rentang jarak hampir 20 meter dari pendaki tim lain di belakangnya. Saya, mas Sugeng, dan mas Theo masih berbarengan saling menunggu bersama teman teman dari Bandung. Pergerakan amat lambat sekali, sebentar sebentar kami harus duduk, istirahat, minum dan jalan lagi.



Semangat yang kembali

Tiba disuatu ketika, semua melambat bergerak, teman teman dari Bandung meminta istirahat,  barisan para pendaki dari depan juga masih merayap sangat perlahan, saya meminta izin kepada mas Theo dan mas Sugeng untuk melanjutkan pendakian lebih dulu sembari mereka masih beristirahat. 

Kemudian sayapun mulai bergerak mendaki lebih cepat, mendahului satu persatu pendaki di depan saya, hingga tanpa terasa  akhirnya saya sudah berada di depan,  namun masih 20 meter di bawah mas Haris yang sudah mulai terduduk kelelahan. Saya terus bergerak melangkah memaksakan diri untuk terus mendaki, dan akibatnya buruk, saya cepat sekali kelelahan dan  tersengal sengal, dada terasa sesak dan napas memburu dengan cepat, sementara mas Haris sudah mulai menjauh lagi.

Semua keraguan tentang kemampuan mendaki dan meraih puncak Mahameru saat di Kalimati kemarin tiba tiba menguap dan hilang begitu saja. Saya tak tahu mengapa bisa secepat itu, saya hanya mendaki, menjejakkan kaki di pasir basah yang dingin, lalu terus melangkah, demikian saja. Lalu, semuanya kembali, optimisme saya kembali, kesegaran saya kembali, keyakinan saya kembali, dan semangat saya kembali. Bahkan air mentah dari sumbermani yang langsung saya isi kedalam streamer di ultralight backpack seolah berubah menjadi minuman suplemen penambah energi, dingin namun sangat menyegarkan, bukannya sakit perut minum air mentah dan sangat dingin itu, saya malah merasa segar dan nikmat.

Malam yang cerah dengan sinar bulan yang cukup terang membuat headlamp yang saya gunakan tidak banyak difungsikan, malahan mendaki terasa lebih nyaman  hanya dengan lentera cahaya bulan saja, tanpa ditambah dengan headlamp. Di belakang saya, barisan para pendaki hanya bisa terlihat dari headlamp yang berkedip kedip di kepala mereka, mas Theo dan mas Sugeng ada di antara mereka.


Lintasan pasir Mahameru ( gambar diambil saat perjalanan turun )
 




Ritme yang harmonis

Dalam etape ini juga saya memetik pelajaran besar tentang mengejar mimpi dan keinginan, dari seorang yang terjebak dalam rasa sakit dan kelemahan karena kesombongan sendiri, sempat hampir putus asa, lalu bangkit meraih mimpinya dengan kemampuan yang tidak dapat diduga sebelumnya, bahkan oleh saya sendiri.

Saya pikir mas Haris akan menjadi orang pertama yang akan menjejakkan kakinya di puncak Mahameru pada pendakian ini, tapi ternyata tidak. Belum sampai setengah tanjakan pasir legendaris Mahameru di daki, saya sudah bisa menyamai langkahnya, melangkah seiring dengan jarak hanya sekitar dua meter. Lalu, kira kira sudah sampai pada leher tanjakan Mahameru, mas Haris mulai malas melangkah lagi, ia lebih sering terduduk dan malas bergerak, puncaknya tidak kunjung sampai katanya, sementara jarak kami dengan mas Sugeng dan mas Theo, sudah sangat jauh. 

� saya duluan mas ya..� pamit saya pada mas Haris, yang hanya mengangguk terduduk kelelahan, malas untuk bangun melangkah lagi.

Saya terus melangkah dan mendaki lagi, dan inilah ritme  yang tanpa sengaja saya lakukan sehingga saya mampu mendahului semua pendaki di tanjakan legendaris gunung tertinggi di pulau Jawa ini. Sambil berusaha menyusul mas Haris tadi, saya menemukan ritme yang ampuh untuk mendaki di Mahameru ini.. dan beginilah hitungan ritmenya.

Setiap 20 langkah mendaki saya berhenti, istirahat, mengatur napas, namun tetap berdiri dan tidak boleh duduk.

Lalu melangkah mendaki 20 langkah lagi, kemudian berhenti lagi, mengatur napas dan tetap berdiri, masih tidak boleh duduk.

Kemudian melangkah mendaki kembali, kali ini 30 langkah. Kemudian berhenti, duduk, dan minum satu teguk sampai 3 teguk air, dan tidak  boleh berhenti lebih dari 3 menit.

Demikian yang saya lakukan,berulang ulang, dan terus menerus, Hingga saya bisa menyusul mas Haris, dan sekarang mendahuluinya..

Tidak lama meninggalkan mas Haris yang duduk beristirahat di punggung Mahameru yang dingin, saya tiba di sebuah punggungan yang agak landai, di sisi sebelah kanannya terdapat batu yang lumayan besar. Selepas itu saya mendaki sedikit tanjakan lagi.

 Lalu kemudian datar.., tidak ada lagi tanjakan, semuanya rata, sepi dan hanya ada pasir dan batuan yang berserakan...

Puncak, Saya tiba di Mahameru...

Ada rasa senang, haru, dan bangga yang luar biasa masuk kedalam relung kalbu saya, rasa yang khas ketika seorang pendaki telah mencapai puncak gunung, apalagi puncak gunung yang telah menjadi mimpinya sejak lama. 


Pasir dan batuan Mahameru saat fajar


Saya terus berjalan menuju ke tengah, dalam keremangan cahaya bulan dan cahaya fajar yang tak lama lagi akan menyingsing, saya melihat ada semacam tonggak dengan panjang sekitar 2 meter dengan bendera merah putih di ujungnya. Saya berjalan ke arah sana dan tak jauh dari tempat itu saya melepaskan tas punggung, kemudian  duduk dan minum, dan mengisi perut dengan beberapa potong biskuit dingin.

Tangan saya langsung tersengat dingin yang menusuk tulang begitu sarung tangan dibuka dan menyentuh  permukaan batuan Mahameru di sekitar pukul 04:30 dini  hari, dingin sekali. Setelah melepas lelah sebentar, saya tak dapat menahan keinginan untuk buang air kecil, dingin sekali tanah tertinggi pulau Jawa ini, apalagi ketika sampai puncak ini saya tak kemana mana lagi, hanya menunggu rekan pendaki lain tiba di puncak juga, dan dalam  keadaan pasif seperti ini tanpa gerakan, dinginnya udara lebih terasa.

Setelah meletakkan tas punggung di bebatuan dekat tonggak bendera merah putih tadi, saya berjalan kearah jalan masuk puncak Mahameru sebelumnya, dalam keremangan fajar mas Haris masih terlihat duduk istirahat, tapi bukan di tempat saya mendahuluinya tadi, ia sudah bergerak jauh kearah puncak, tinggal sekitar 50 meter dari batu besar sebelah kanan yang saya ceritakan di awal.

� Mas Haris, puncak...!!!� Teriak saya waktu itu.

� sudah sampai puncak kah..?� balas mas Haris suprise.

� iya, ini sudah sampai..�

Seperti memperoleh tenaga baru, mas Haris segera bangun dan setengah berlari menuju puncak, sesaat kemudian ia pun mencapai puncak gunung pertama dalam sejarah hidupnya, puncak Mahameru, tepat sekitar 10 menit setelah saya tiba lebih dulu.

Lalu sekitar 20 menit kemudian pendaki satu persatu tiba di puncak, setelah beberapa pendaki dari tim lain tiba, tak lama kemudian saya lihat mas Theo dan mas Sugeng juga sudah tiba di pintu masuk puncak Mahameru.

Kemudian bersama kami menantikan matahari terbit di puncak Mahameru, puncak para dewa ini, puncak yang telah menjadi mimpi kami sejak lama.

 




Di Mahameru dengan bendera puncak


Kemenangan dan keberhasilan akan lebih terasa nikmatnya setelah perjuangan habis habisan




*****

  
Bersambung ke Bagian Enam


0 Response to "Kesombongan Membunuhku Di Mahameru : Bagian Lima"

Posting Komentar