Kesombongan Membunuhku di Mahameru, Bagian Dua

Pada cerita bagian pertama saya telah menceritakan persiapan, latar belakang, dan tujuan perjalanan ke Semeru, selanjutnya kita akan meneruskan cerita ini setelah kami tiba di kota Tumpang.

***

Mas Theo dari Jayameru
Setelah semuanya selesai, hari yang telah disepakati pun tiba, perjalanan menuju puncak para dewa ini harus segera kami mulai, beberapa teman berkumpul di base camp Arcopodo, melepas kepergian kami. Karena lokasi kota Sangatta yang jauh dari bandara ataupun pelabuhan, maka perjalanan pertama yang harus kami tempuh adalah naik angkutan  travel menuju kota Balikpapan, perjalanan membutuhkan waktu hampir 8 jam. Jadwal biasa keberangkatan travel dari kota Sangatta adalah pukul 21:00 WITA dan jika tak ada kendala maka akan tiba di air port  Sepinggan Balikpapan sekitar pukul 05:00 WITA.

Dari bandara Sepinggan Balikpapan perjalanan kami dilanjutkan menuju kota Surabaya dengan penerbangan pagi, sekitar pukul 09:00 kami sudah tiba di Surabaya, perjalanan ini langsung dilanjutkan menuju kota Malang, untungnya sebelum berangkat dari Sangatta kemarin sore, saya telah menghubungi sebuah agen perjalanan atau travel dikota Malang, meminta mereka untuk menjemput kami di bandara Djuanda Surabaya, jadi setelah tiba, kami tidak menunggu lama, jemputan ke kota Malang segera datang.

Butuh sekitar 4 jam perjalanan dari kota Surabaya ke Malang, menjadi lebih lama dari waktu semestinya karena kami terjebak macet di daerah Porong Sidoarjo, selama perjalanan bapak sopir travel banyak mengobrol dan bercerita tentang Malang dan Semeru yang menjadi tujuan kami, hingga tanpa terasa kami sudah tiba di kota Malang. Dikota Malang kami sudah ditunggu oleh Mas Theo, salah seorang pendaki senior di kelompok penjelajah Jayameru Malang. 
Saya mengenal  mas Theo dan Jayameru Malang melalui seorang teman di Sangatta, yaitu mas Petiz, beliau juga adalah salah satu anggota dari klub pendaki di kota Malang ini. Ketika mas Petiz berkunjung ke Arcopodo Store, saya sempat bercerita mengenai rencana Arcopodo Club untuk mendaki Mahameru, lalu beliau bertanya apakah sudah ada yang ke sana sebelumnya, saya jawab belum. Maka beliau menyarankan untuk menghubungi mas Theo di Malang, Insya Allah mas Theo bisa bantu mengantar ke Mahameru, begitu saran mas Petiz saat itu.

Mas Theo dari Jayameru Malang, Ia telah mendaki puncak Mahameru hampir 50 kali
Kunci masjid di kota Tumpang
Setelah beristirahat sejenak di kediaman mas Theo dan berbelanja kebutuhan logistik untuk  pendakian nantinya, sore harinya, ditemani mas Theo, kami segera beranjak menuju kota Tumpang, sebuah kota Kecamatan berjarak sekitar 1 jam perjalanan dari kota Malang. Kami tiba di Tumpang sekitar pukul 17:00 WIB, langsung menuju rumah pak Imron ( semoga saya tidak salah mengingat namanya ), pak Imron adalah seorang sopir truk yang biasa mengangkut sayuran dari Ranupane ke Tumpang, beliau telah kenal baik dengan mas Theo, karena seringnya mas Theo mendaki ke Ranupane Semeru dengan menggunakan jasa truk pak Imron.
Saya suka kota Tumpang ini, khususnya seperti lingkungan rumah pak Imron, masyarakat disini masih sangat agamis sekali, saat azan magrib berkumandang saya melihat penduduk beramai ramai ke masjid desa untuk shalat, anak anak dan remaja perempuannya juga berpakaian sangat muslimah, hampir semuanya berhijab.
� saya akan meminang gadis dari Tumpang itu mas Sugeng...�  ujar saya waktu itu bercanda ke mas Sugeng sambil menunjuk seorang gadis berkerudung warna merah muda diseberang jalan yang sedang menggendong adiknya, dan ucapannya saya itu disambut senyum dan tawa dari mas Sugeng, mas Theo dan juga mas Haris.
� Tenan ki, mau jadi warga Tumpang..?�  sambut mas Theo yang saya jawab dengan tawa pula.
� Iya mas Thio,, saya juga mau jadi orang Tumpang ini.. berapa biasanya biaya nikah disini mas...? � mas Haris ikut menimpali dengan mimik serius. 
Gelak tawa kami pecah menyambut pertanyaan mas Haris di warung bakso kecil tak jauh dari rumah pak Imron itu, memang kami sedang beristirahat di sana sambil membeli bakso untuk mengisi perut, sembari juga memperhatikan masyarakat yang berlalu lalang di jalan yang tidak begitu ramai.
� ndak mahal kok, mahal kalimantan pasti.., lha ini kalau serius, nanti turun gunung tak bantu golek�i calonnya..?� jawab mas Theo pun memasang mimik wajah lebih serius.
Dan tawa kami kembali mengisi warung bakso itu, obrolan dan candaan itu terus berlanjut hingga beberapa saat sebelum azan sholat magrib berkumandang.
Dan saat di Tumpang ini juga ada kejadian menggelikan tentang mas Theo, posisi rumah beliau di Malang kan lokasinya bersebelahan dengan masjid, dan biasanya kunci pintu masjid dititipkan ke mas Theo, nah kebetulan hari itu kuncinya oleh mas Theo, kantongin terus disakunya hingga terbawa sampai Tumpang, ia baru sadar ketika salah seorang jamaah yang mau sholat magrib menelponnya dan menanyakan kunci, Kami ikut geli membayangkan bagaimana mimik wajah barisan bapak bapak, dan anak anak yang bersarung dan berkopiah antri di depan pintu masjid untuk melaksanakan sholat magrib berjamah, sedangkan kunci masjidnya ada di saku  mas Theo di Tumpang. 
Ah semoga saja mereka punya kunci simpanan,
Di kota Tumpang ini pula kami menjalani tes kesehatan sebagai salah satu persyaratan untuk mendaki gunung Semeru, dan Allhamdulillah semuanya berjalan lancar dan kondisi kami dinyatakan fit dan diperbolehkan untuk mendaki ke ketinggian Semeru.
Dan saat menginap di rumah pak Imron di Tumpang ini juga saya secara pribadi belajar banyak, bahwa kesombongan yang saya lakukan disini hampir saja membunuh saya di Semeru.
Salah satu sudut terminal kota Tumpang

Sleeping bag
Ceritanya begini, ketika sudah waktunya untuk istirahat di rumah pak Imron setelah makan malam dan ngobrol bersama, kami dipersilahkan untuk tidur di ruang tamu rumah pak Imron. Mas Theo, Mas Sugeng, dan mas Haris sudah terlebih dulu terlelap dalam bungkusan sleeping bag masing masing, saya yang tidur belakangan merasa yakin bahwa tidak perlu menggunakan sleeping bag untuk tidur di  Tumpang ini, cuaca tidak akan begitu dingin pikir saya, lagian saya juga sudah mempersiapkan diri dengan sangat baik, olahraga yang saya lakukan dalam persiapan ini juga lebih banyak dari yang lain, saya  juga lebih kuat menahan dingin dibanding yang lain, demikian pertimbangan saya. sehingga over convidence ternyata menjebak saya dalam sebuah keangkuhan yang bodoh. Dan begitulah akhirnya, kesombongan malam itu membuat saya tidur tanpa selimut di ruang tamu dingin rumah pak Imron di Tumpang, melupakan bahwa saya meskipun terlahir di daerah dingin pulau Sumatera, beberapa tahun terakhir telah terbiasa dengan udara yang lebih hangat di kota tepi laut Kalimantan.
Keesokan paginya setelah sholat subuh, kami telah bersiap siap untuk melanjutkan perjalanan ke Ranupane bersama pak Imron, setelah semua siap, sekitar pukul 05:30 kami memulai perjalanan, truk pak Imron pelan pelan mulai mendaki, menyusuri jalanan Tumpang � Ranupani yang hampir keseluruhannya  adalah tanjakan. Panorama selama perjalanan ini indah sekali, jalanan berkelok kelok menanjak melintasi perkampungan yang semakin tinggi dan dingin, sesekali truk pak Imron yang kami tumpangi berhenti untuk menaikkan dan menurunkan penumpang yang juga mengunjungi kebun mereka yang letaknya di sepanjang jalan raya Tumpang Ranupane ini. 

Tak lama setelah meninggalkan Tumpang, pemandangan yang menyambut kami di sepanjang jalan benar benar memukau, perkebunan sayuran, kebun apel dan terkadang diselingi oleh hutan pinus yang teduh membentang sejauh pandangan mata, kadang jalan terasa menjadi kecil saat posisi truk yang kami tumpangi persis berada di atas punggungan bukit, jurang menganga ratusan meter di kanan dan kiri jalan, hal buruk jika harus memikirkan seandainya  terjadi suatu masalah dengan truk pak Imron.
Panorama memanjakan mata sepanjang jalan Tumpang � Ranupane
Bandungan dan Ranupane
Setelah hampir satu jam lebih perjalanan dari Tumpang dan membelah belantara hutan pinus di sekeliling jalan, kami tiba di sebuah tempat yang biasa disebut Bandungan, setiap mobil yang mengangkut para pendaki umumnya berhenti di tempat ini, karena panorama dari sini luar biasa indahnya, dari Bandungan ini kita bisa menyaksikan barisan bukit bukit raksasa pegunungan Bromo Tengger, bukit bukit yang dari jauh terlihat seperti bahan kain bertekstur halus dan lembut seperti permukaan material nanuk pada lapisan dalam jaket gunung ini membentang luas memukau, jalan yang biasa di lalui oleh jeep atau hartop terlihat kecil seperti seutas tali panjang di bawah sana. Kami pun tak dapat melewatkan tempat ini begitu saja, sambutan Semeru yang baru sedikit ini saja telah membuat kami terasa seperti di hipnotis.
Di Bandungan pak Imron menghentikan truknya, dan membiarkan kami turun untuk menikmati panoramanya dan mengambil beberapa gambar. Namun, khusus untuk saya, sepertinya kesombongan saya untuk tidak menggunakan selimut saat tidur di rumah pak Imron tadi malam sudah membuahkan hasil, saya masuk angin, perut saya mulai terasa melilit sakit, jadi ketika mas Haris, mas Sugeng dan mas Theo memanfaatkan kesempatan untuk menikmati hidangan pembuka pendakian Semeru di Bandungan, saya menghabiskannya dengan meringis menahan sakit.
Menikmati panorama Bromo dari Bandungan

 
Perjalanan ke Ranupane kembali dilanjutkan hingga tak lama kemudian kami sudah tiba di sebuah perkampungan penduduk yang belakang rumah mereka terhampar tanaman sayur mayur hijau, ada kol, kubis, bawang, terong, salada, dan lainnya. Jalan desa yang kami ikuti agak menurun tajam, di sebelah kanan jalan terdapat bangunan sebuah sekolah Dasar, beberapa orang penduduk kampung terlihat berlalu lalang di sepanjang jalanan kampung sambil mengalungi sarung dan membawa perlengkapan kebun. Ya ini dia, kami sudah tiba di Ranupane.
Truk pak Imron terus bergerak lagi, hingga sekitar  5 menit kemudian kami tiba di depan sebuah masjid, Masjid Al Barokah desa Ranupane. Dari masjid jalanan berbelok ke arah kanan, dan di depan agak menurun terbentang sebuah danau sejuk yang menjadi muasal nama kampung ini,  danau Ranupane. Di seberang danau di ujung jalanan terdapat beberapa bangunan berwarna putih, itu adalah bangunan pos pendakian dan pengamatan gunung Semeru, ada beberapa bangunan lain yang berdekatan yang juga difungsikan untuk kepentingan konservasi TNBTS.
Di seberang danau juga  agak ke kiri, terdapat semacam pura untuk tempat peribadatan  umat hindu, yang dibangun di atas tanah yang agak tinggi, beberapa bendera panjang berwarna kuning terlihat melambai lambai di pintu masuk dan di sekitar bangunan pura. Dari depan masjid Al Barokah ini, jika cuaca cerah kita dapat menyaksikan kemegahan puncak Mahameru dengan jelas, asap sulfatara yang biasa mengepul dari puncak gunung tertinggi di pulau jawa itu juga kadang dapat terlihat jelas.
Buah kesombongan saya yang memutuskan untuk tidur tanpa selimut dirumah pak Imron tadi malam semakin menjadi � jadi, ketika Pak Imron menurunkan kami tepat di depan Pos Ranupane, yang saya lakukan pertama kali adalah berlari ke ujung pojok bangunan mencari toilet, sungguh menyiksa rasa sakitnya, keputusan saya yang terlalu percaya diri dengan hasil olahraga selama ini membuat saya mengalami mencret di Ranupane, penyakit yang sungguh jauh dari kata �keren�, dan semestinya ini juga tidak perlu terjadi, awal yang buruk untuk meraih mimpi ke Mahameru.
Satu yang masih saya ingat hingga sekarang ketika berada di toilet Ranupane waktu itu, yaitu betapa susahnya saya berusaha untuk membuka resleting celana dan melepasnya, tangan saya terasa membeku oleh dinginnya cuaca dan air di Ranupane, belum lagi ditambah kondisi perut yang sakit membuat badan saya terasa lemas dan payah. Selain  kondisi badan yang rusak karena kebodohan sendiri, hal ini juga disebabkan perubahan suhu yang sangat drastis antara Tumpang dan Ranupane, yang aklimatisasinya hanya dilakukan di atas truk yang terus berjalan, apalagi perjalanannya dilakukan waktu subuh seperti tadi, jelas ini bukan cara yang bagus untuk aklimatisasi di ketinggian.
Sementara saya menikmati sakit perut yang melilit di dalam toilet, mas Theo dan yang lainnya mengurus perizinan pendakian, hingga saat saya keluar toilet semua urusan administrasi pendakian sudah beres. Sambil menyiapkan semua peralatan dan packing, kami memesan makanan di warung samping pos Ranupane, sebelumnya pak Imron juga sudah berpamitan untuk pulang kembali ke Tumpang, dan sesuai kesepakatan, beliau akan naik lagi ke Ranupane untuk menjemput kami 4 hari ke depan. 
Setelah selesai sarapan dan final check peralatan, kami segera bersiap melakukan pendakian, tak lupa sebelum melangkahkan kaki, kami mulai dengan berdoa, semoga Allah Yang Maha Menguasai segala sesuatu menjadikan perjalanan ini baik bagi kami dan menjauhkan kami dari segala bala dan petaka. Aamiin.

Di Pos Ranupane sebelum memulai Pendakian
*****
Bersambung ke Bagian Tiga

 




0 Response to "Kesombongan Membunuhku di Mahameru, Bagian Dua"

Posting Komentar