Pelajaran dari kota Tepian : Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung



Ada sebuah pelajaran yang sangat luar biasa hari ini, 09 September 2015. Tentang sebuah dampak dari kurang bijaksananya dalam berbicara dan berkomunikasi di sosial media.

Pelajaran ini terjadi di kota tempat saya menetap saat ini, Kota Samarinda. Seorang pemuda pendatang baru, yang saya kurang tahu persis latar belakangnya, sebut saja namanya pemuda X, ia menulis banyak hal yang mendiskreditkan kota Samarinda, cenderung menghina dan meremehkan orang orang yang tinggal di dalamnya, dan segala bentuk kata kata tidak pantasnya ini berbaris di timeline facebooknya. 

Di era teknologi seperti sekarang ini, setiap orang bisa dengan mudah melihat kronologi kita di sosial media, jika kita tidak menetapkan privasi dan lock ke public.

Dan pemuda ini, tidak tahu apa yang ada dipikirannya, hingga ia berani menshare tulisannya tentang meremehkan, dan mendiskreditkan kota Samarinda dan penduduknya. Sampai akhirnya tulisan dan statusnya itu di share kembali oleh beberapa orang yang merasa tersinggung dengan ucapannya, dan tempat sharenya adalah sebuah group facebook bernama Busam atau Bubuhan Samarinda ( dalam bahasa Kalimantan, kata bubuhan artinya perkumpulan, rombongan, teman teman, atau saudara saudara ), dan Busam ini adalah group facebook terbesar di Samarinda, anggotanya mencapai 63 ribu orang lebih, dan hampir semua anggota busam ini adalah rata rata orang yang aktif dalam menggunakan sosial media.

Jadi dapat dibayangkan betapa cepat tersebarnya apa yang telah pemuda X ini tulis, dan tentu saja ini menyulut emosi banyak orang Samarinda.


Dalam hitungan jam, pemuda X ini ditemukan di salah satu wilayah kota Samarinda, dan ia di minta untuk meminta maaf. Namun entah bagaimana, ada juga beberapa orang yang terlanjur emosi hingga memberi pelajaran pahit untuk pemuda X ini, dan hasilnya, ia pun babak belur di hakimi warga. Selain itu, kini pemuda X juga telah berurusan dengan kepolisian, dan mendekam di balik jeruji tahanan untuk sementara waktu.

Dan itu semua merupakan buah dari apa yang ditulisnya di media sosial facebook.

Dan ini sungguh menjadi pelajaran yang sangat berharga..


Tulisanmu, Harimau mu

Jika dulu kita akrab dengan pribahasa � mulutmu harimau mu�, mungkin saat ini telah meluas pula jangkauannya menjadi, � tulisanmu harimaumu �

Ini jaman media sosial, di mana hampir semua orang berinteraksi dengannya, apa yang ditulis, di catat, dibagikan, hanya dalam hitungan detik akan dilihat orang lain pula secara real time. Jadi memang butuh banyak pertimbangan sebelum memutuskan untuk menulis sebuah kalimat kemudian mempostingnya dalam media sosial.

Media sosial tak ubahnya seperti pedang bermata dua, yang bisa memberi kita keuntungan secara riil dan juga material, namun di sisi lain juga dapat menjadi sebuah ancaman yang besar untuk kita sendiri, jadi kebijaksanaan, kehati hatian, toleransi, tenggang rasa, adalah sesuatu yang harus menjadi tolak ukur kita sebelum memutuskan untuk membagikan sesuatu di akun kita sendiri.

Beberapa orang mungkin saja hanya ingin sekedar eksis denga menulis beberapa kalimat yang cenderung provokatif, melukai hati orang lain, dan mengabaikan tata nilai kesopanan. Namun sekali lagi, semua akan memiliki dampak dan resiko, dan pristiwa yang terjadi pada pemuda X adalah salah satu contoh nyata, yang kita mesti banyak belajar darinya.

Ada orang yang menggunakan sosial media untuk mengetahui informasi terkini, menambah ilmu dan pengetahuan, menambah sahabat dan teman, atau bahkan menjadikan media sosial sebagai ajang untuk mencari rezeki dengan berjualan, berdagang, dan berniaga. Dan hal ini tentu saja merupakan sebuah kegiatan yang positif dan bermanfaat.


Namun ada juga orang orang yang malah menggunakan media dan teknologi justru untuk membuat bahaya tersendiri, seumpama dengan membagikan video porno, menebar kebencian, memaki dan mengumbar amarah, memprovokasi, dan lain sebagainya. Dan hal semacam ini, selain merugikan pihak lain, tentu juga akan merugikan dirinya sendiri.

Cerdaslah dalam menggunakan teknologi, bijaksanalah dalam menyikapi informasi, dan berusalahah untuk selalu memhormati dan menghargai siapapun sebelum menulis sesuatu dan membagikannya.

Salah satu view kota Tepian Samarinda dan sungai Mahakam


Di mana bumi dipijak, di situ langit di junjung.

Pepatah ini berlaku sepanjang masa, dan di manapun juga, bukan hanya di kota Samarinda, Balikpapan, Tenggarong, dan yang lainnya. Bahwa di manapun juga, sebagai seorang yang berusaha mencari rizki dan hidayah Allah SWT di mana pun kita berada, menjadi seorang pribadi yang pandai menempatkan diri, pandai menjaga lidah dan pergaulan, menjunjung tinggi adab dan kesopanan, menghargai aturan dan norma, adalah sesuatu yang semestinya kita miliki.

Jangan mengeneralkan semua keadaan dengan sebuah tolak ukur yang tidak tepat. Banyak dari kita mungkin adalah orang perantauan, yang mencari penghidupan dan nafkah di kampung halaman orang lain, mengapa tidak berpikir untuk menjunjung tinggi segala adat dan aturannya, selama ia tidak bertentangan dengan aqidah dan perintah Allah SWT. 

Mencari keburukan sebuah tempat perantauan dengan pembanding yang tidak tepat, sama sekali bukanlah hal yang bijaksana, apalagi sampai membeberkan di sosial media, hanya untuk memperoleh perhatian dan like dari beberapa orang saja, sungguh hal semacam itu tidak ada gunanya.

Jika kampung halaman kita sudah lebih dari cukup, memenuhi semua kebutuhan kita dari yang lahir hingga yang batin, mengapa perlu kita merantau�? 

Merantau adalah sebuah madrasah untuk menjadikan kita pribadi yang lebih baik, lebih baik dalam mencari ilmu, lebih baik dalam menghormati orang lain, dan tentunya lebih baik pula dalam mencari nafkah yang berkah dan berlimpah.

***


Sekali lagi, mari kita gunakan sosial media secara cerdas dan bijaksana.

Dan satu lagi, pribahasa tentang, mulutmu harimau mu, di mana bumi di pijak, di situ langit di junjung, bukanlah hanya penghias buku bahasa Indonesia semata, pepatah dan pribahasa ini di buat, karena memang demikianlah kenyataan yang sebenarnya. 

Dan kita telah melihat buktinya, jadi belajarlah.





 

0 Response to "Pelajaran dari kota Tepian : Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung"

Posting Komentar