Untuk membaca cerita sebelumnya klik disini
Setelah perjalanan dari awal persiapan hingga langkah akhir menuju puncak telah saya ceritakan pada bagian pertama, maka inilah rekam perjalanan di atas puncak Sulawesi yang kami ziarahi, perjalanan turun, perjuangan untuk tiba di kota Barakka kembali, serta beberapa helai cerita lain yang mengiringi kami sesudahnya...
*****
View kedamaian puncak Latimojong
Tanah pulau Sulawesi di lihat dari puncak Rante Mario
*****
PERJALANAN PULANG DAN MIMPI BURUK
Sebenarnya setelah sampai dipuncak, saya ingin segera mengakhiri cerita pendakian Arcopodo Adventure Club ke gunung Latimojong ini, karena seperti pada cerita pendakian gunung pada umumnya, cerita berakhir pada puncaknya, pada saat pendaki sukses menjejakkan kaki mereka di titik tertinggi sebuah gundukan besar yang disebut gunung. Namun ternyata pada petualangan dan perjalanan pendakian kali ini, Allah Yang Maha Merencanakan segala sesuatu, berkenan memberi kami pelajaran dan ilmu lebih banyak dari yang kami kira. Setelah mencapai puncak Rante Mario, titik tertinggi di gunung Latimojong, ternyata petualangan ini belumlah usai...
Turun dari puncak Rante Mario, kami mulai mengemas semua perlengkapan kedalam carrier, membersihkan camping ground yang digunakan tadi malam. Perjalanan turun, menurut bang Ipang ada dua pilihan, bisa melalui jalur yang sama seperti saat mendaki kemarin, atau bisa melalui jalur Nememori, rute ini lebih panjang menurut bang Ipang, melipir jauh ke arah timur. Namun kami sama sekali tak tertarik menjajal jalur Nememori itu, yang kami inginkan adalah segera tiba di kampung Karangan, dan istirahat, lalu pulang, itu saja.
Perjalanan turun berlangsung lebih cepat, sekitar jam 16:00 WITA semua anggota team sudah tiba kembali dengan selamat di kampung Karangan, walaupun sejak lepas dari pos 2 sebagian besar anggota pendaki disiram air hujan gunung Latimojong yang lumayan deras.
Sambil beristirahat, di sini kami disuguhi makanan enak, berupa daging hewan hasil buruan penduduk kampung Karangan, juga diajari cara membuat gelang dari rotan yang di anyam oleh penduduk, sedikit lebih rumit daripada gelang rotan yang dibuat bang Ipang di pos tiga tempo hari, moment ini juga merupakan bagian yang saya sukai, misi pendakian sebuah gunung bukan hanya cerita tentang pencapaian puncaknya, namun juga berisi banyak cerita tentang pendekatan dengan masyarakat sekitar, mengenal sosiologi, dan kehidupan mereka dari dekat. Mendaki gunung lebih lengkap rasanya jika selain mencapai puncaknya dengan selamat, kita juga menjadi lebih mengenal dan memahami penduduk sekitar gunung tersebut.
Menikmati hidangan penduduk Karangan setelah turun gunung
Esok paginya sekitar jam 10:00 WITA, setelah berpamitan dengan warga kampung Karangan, perjalanan hiking menuju kampung Rante Lemo dimulai, bang Ipang ikut mengantar kami sampai kampung Rante Lemo, cepat sekali terjalin keakraban diantara kami dengan bang Ipang, sehingga beliau tidak tega membiarkan kami keluar dari kampung Karangan tanpa ikut mengantar, dan membantukan membawa beban carrier meski hanya sampai kampung Rante Lemo saja.
Harapan Off Road yang Gagal Total
Sekitar jam 11:00 WITA kami sudah tiba kembali di Rante Lemo, di rumah tempat kami menginap sebelum mendaki tempo hari. Sang Ibu pemilik rumah benar benar menyentuh hati kami dengan sikap dan perlakuannya, hanya kenal beberapa hari saja, beliau sungguh-sungguh menganggap kami layaknya keluarga sendiri, beliau juga bercerita lebih banyak tentang putranya yang juga suka mendaki gunung dan sekarang sedang menuntut ilmu di Makassar itu. Kami dipersilahkan untuk memasak sendiri di dapur rumahnya yang sederhana, kegiatan ini kami lakukan dengan sangat senang hati, ada yang mencuci beras dan mengulek sambal, ada yang membersihkan ikan, ada yang mencuci sayuran dan ada pula yang hanya mencuci piring sambil bercanda mengobrol dengan Ibu sang empunya rumah.
Yang menjadi kepala koki dalam acara gotong royong memasak ini adalah mbak Farsiti, salah satu anggota team pendaki sahabat Arcopodo yang juga kebetulan sedang tinggal di kota Sangatta, mbak Farsiti bukanlah type petualang yang gemar menjelajah kemana mana, namun ketika mbak Eva mengajaknya untuk menyambangi puncak tertinggi di pulau Sulawesi ini, sulit bagi mbak Farsiti untuk melewatkannya begitu saja.
Di kota Sangatta, mbak Farsiti juga bekerja sebagai salah satu juru masak di sebuah rumah makan, jadi tidak mengherankan, lezatnya masakan dengan bahan baku sederhana, dalam suasana perkampungan Rante Lemo yang damai, ditambah hangatnya ke akraban diantara kami, membuat makanan yang tersaji dilahap dengan sempurna.
Sebelum magrib kami semua sudah bersama pemilik rumah duduk mengelilingi hidangan hasil gotong royong memasak tadi, makan terasa nikmat sekali. Kami pikir malam ini kami akan kembali menginap di sini, karena hingga waktu sholat isya tiba, belum ada mobil yang naik ke kampung Rante Lemo, apalagi sejak siang tadi hujan mengguyur tiada henti. Namun ketika harapan untuk bisa turun ke Barakka malam ini mulai lenyap, tiba tiba terdengar raungan mesin sebuah mobil four wheel drive yang datang, saya tidak pasti jenis apa mobilnya waktu itu, bodynya seperti strada triton, ranger, hilux atau sejenisnya. Sambil menunggu mobil itu membongkar muatannya kami mulai berkemas dan bersiap, senyum tersungging di masing masing bibir tiap anggota, perjalanan kali ini akan lebih nyaman pikir kami, akan berbeda dengan truk yang kami tumpangi sewaktu perjalanan naik beberapa hari yang lalu.
Setelah semuanya selesai, kami berpamitan kepada Ibu pemilik rumah, juga kepada mas Ipang yang ikut mengantarkan kami hingga ke Rante Lemo, suasana haru segera mendominasi, Ibu pemilik rumah melepas kepergian kami dengan air mata berurai, layaknya seorang Ibu melepas kepergian anaknya yang akan pergi jauh. Ketulusan ibu itu sungguh membekas dalam benak kami. Semoga Allah senantiasa merahmati beliau.. aamiin.
***
Perjalanan dimulai, semua berjalan lancar pada awalnya, jalan yang berlumpur menambah serunya perjalanan pulang kali ini, mobil meliuk kesana dan kemari, menderu menyemburkan lumpur dari cipratan roda belakangnya, khas serunya olahraga off road.
Namun keadaan berubah drastis ketika sekitar tiga kilometer kami telah meninggalkan Rante Lemo, ada hal yang tidak beres dengan mobil yang kami tumpangi, setiap melewati tanjakan berlumpur yang seharusnya menjadi medan favorit sebuah mobil 4 x 4, mobil itu meraung raung tak mampu bergerak, dan itu terjadi berkali kali terjadi, setelah ditanyakan ke pengemudinya, mengapa bisa demikian..
� iya, dobol depannya sudah dilepas tadi...� jawab sang pengemudi dengan entengnya. Dobol adalah istilah yang biasa dipakai penduduk daerah ini untuk menyebut mobil dengan penggerak roda ganda, atau double gardan.
Great..., hebat...!!!
Pantas saja mobil merayap seperi kecoak di jalan seperti ini, hujan yang menyirami hampir tiap hari membuat jalan tanah kian parah berlumpur dan licin. Kami pikir sebelumnya perjalanan pulang dengan mobil ini akan sangat menarik, akan banyak guncangan, teriakan seru, dan manuver manuver keren. Ternyata kami keliru, kami tidak diberitahu jika penggerak roda depannya sudah dilepas, jadilah kami melintasi jalan tanah terjal, licin, dan curam ini, dengan menumpangi sebuah angkot dalam balutan body pajero sport dakkar.
� iya ndak bisa lah,, jalan hancurnya seperti ini, penggerak engine untuk roda depannya dilepas, kecil kemungkinan kita bisa sampai ke Barakka malam ini..� mas Haris memberi penjelasan kepada kami tentang kondisi aktualnya, pekerjaan mas Haris adalah seorang mantan mechanic alat berat di sebuah perusahaan multi nasional, saat ini beliau telah menduduki jabatan sebagai seorang supervisor, jadi hal hal yang berhubungan dengan engine dan otomatif, adalah sesuatu yang ia lahap setiap hari, hingga pengetahuannya cukup banyak tentang hal itu.
Selain mas Sugeng, mas Haris juga adalah salah satu anggota team pendaki dari Arcopodo club yang juga ikut dalam pendakian ke Semeru dan Merapi tahun 2010 silam, salah satu karakter khas dari mas Haris adalah sifat setia kawannya yang tinggi, juga karakter pemberaninya untuk melakukan hal hal yang menurut perhitungan orang lain berbahaya. Di balik rambutnya yang gondrong, dan kesannya yang terkadang urakan, mas Haris adalah sosok seorang pemikir yang filosofis, kegemarannya membaca membuatnya memiliki wawasan yang luas.
Gambaran urakan dan gondrong dari pribadi mas Haris, adalah tampilannya saat melakukan pendakian gunung Semeru dan Latimojong, pada tahun 2010 dan 2011 silam. Namun sekarang, saat catatan pendakian ini saya tulis, mas Haris sudah jauh berubah, saat ini, beliau adalah ayah dari seorang puteri berusia kurang lebih dua tahun, suami dari seorang isteri yang sangat memuliakannya. Mas Haris saat ini adalah seorang pribadi yang religius, memelihara jenggot, dan pada saat tertentu sering menggunakan gamis, lembut, dan sangat disiplin dalam menjaga ibadahnya sebagai seorang hamba Allah SWT, juga sangat disiplin dalam rutinitasnya sebagai seorang pekerja di sebuah prusahaan swasta.
Sungguh segala puji hanya untuk Allah SWT semata, Tuhan Yang Maha Menguasai setiap hati, dan Maha Pemberi hidayah kepada siapa yang di kehendaki-Nya.
Kembali ke off road yang gagal...
Tak ada yang bisa disalahkan dan disesali, kami semua harus bekerja sama agar keluar dari situasi ini. semua laki laki turun dari mobil, bahu bahu mendorong dan menarik mobil, dapat dibayangkan, setelah mendaki gunung, diguyur hujan deras, hiking dan membawa beban berat, ditambah lagi jatah tambahan dengan mendorong dan menarik mobil yang mogok di tanjakan penuh lumpur, pada tengah malam lagi ,, ah ini benar benar mimpi buruk.
Keluar dari perangkap lumpur yang satu, terjebak lagi dalam perangkap lumpur berikutnya, sungguh tak ada harapan untuk bisa sampai kota Barakka besok paginya. Melihat keadaan itu, kami semua sudah yakin bahwa usaha tarik menarik, dan dorong mendorong ini tidak akan berhasil, namun konyolnya, sang driver tetap memaksakan mobilnya untuk bergerak dan bergerak, usaha ambisius itu tak membuahkan hasil kecuali raungan mesin yang sekarat di tengah malam hujan gerimis, paksaan itu terus dilakukan hingga ban belakang mobil gembos, namun sopirnya tetap tidak mau berhenti. Hingga akhirnya karet ban terlepas, dan tinggal velg baja itu saja yang langsung memakan lumpur, sang sopir pun menyerah dan berhenti, dan kami semua turun, off road gagal, tamat sudah.
Sambutan Badik dan Singkong Rebus
Selanjutnya perjalanan dilanjutkan kembali dengan hiking, suasana seperti ini rentan sekali dengan emosi, amarah, saling menyalahkan satu sama lain. Namun kami sadar, bahwa dengan saling menyalahkan tidak akan menyelesaikan masalah, kami harus tetap bergerak dan bergerak terus. Hiking tengah malam di jalan berlumpur ini menjadi semakin tegang, ketika perut kami yang lapar, memaksa kami untuk mencoba mengetuk sebuah warung desa di pinggir jalan yang berada di tengah perkebunan kopi penduduk, bukannya memperoleh makanan pengganjal perut, kami malah ditemui oleh empat orang bapak bapak, menatap kami dengan penuh rasa curiga, tangan mereka di belakang punggung menyembunyikan semacam badik, golok, parang, atau semacam itulah,, mengerikan sekali, dalam kondisi kelelahan dan kelaparan seperti ini kami dikira perampok, aduh mimpi buruk ini kian lengkap.
Mas Anto segera tampil di depan, menjelaskan maksud dan tujuan kami dalam bahasa setempat, tapi tetap saja kecurigaan tak sirna dari wajah bapak bapak itu, lalu mas Anto memohon pamit untuk meneruskan perjalanan, jalan kaki di malam buta di atas jalan lumpur itu kembali dilanjutkan.
Sekitar jam 03:00 dini hari kami putuskan untuk beristirahat di sebuah rumah penduduk, kami sudah sangat lelah, tak mungkin melanjutkan perjalanan malam ini lagi. Seperti pengalaman di rumah sebelumnya, disambut badik di balik tatapan curiga, kami tak ingin hal itu terulang, kami mengetuk beberapa kali, menjelaskan siapa kami dan maksud tujuan kami, namun tetap tak ada jawaban. Akhirnya kami putuskan untuk istirahat di serambi rumah itu saja, saya sendiri malah kebagian tidur di jembatan kecil penghubung antara serambi rumah dan badan jalan di sebelahnya, setengah kaki saya di halaman tanah rumah yang lembab, karena serambi rumah itu sudah tak cukup menampung kami semua.
Serambi rumah tempat kami menginap setelah kegagalan off road tadi malam
Ada sebuah kejadian yang cukup menggelikan saat menginap di serambi rumah penduduk di pinggir jalan malam itu, entah bagaimana ceritanya, sekitar jam empat dini hari saat kami semua terlelap, dalam tidur yang tidak begitu pulas mas haris merasa ada benda bergerak seolah berusaha menjepit betisnya, ketika ia membuka mata, yang ia lihat adalah barisan gigi mas Anto dalam yang mulut setengah menganga, mata yang terpejam, berusaha setengah hati menggigit betisnya, karena kelelahan dan kantuk yang teramat sangat, mas Haris tidak membangunkan mas Anto, ia hanya memindahkan posisi kakinya saja.
Keesokan harinya saat kami semua terbangun, masih dalam balutan rasa lelah, dingin dan rasa lapar. Mas Haris menceritakan apa yang ia alami tadi malam, sambil mesem mesem mas Anto pun membuka suara...
� iya mi, aku mimpi makan singkong rebus tadi malam, ku gigit gigit tapi tidak bisa, ternyata kaki mu mi ... �
Cerita mas Haris dan keterangan mas Anto pagi itu membuat kami terbahak, dan sejenak melupakan kelelahan, lapar, serta jalan panjang menuju kota Barakka yang masih menanti untuk kami lewati hari ini. Dan imbuhan kata mi memang sering digunakan masyarakat daerah ini pada percakapan sehari hari mereka, yang bisa berarti imbuhan tambahan penguat maksud seperti imbuhan kan, kok,ya, dan lain lain.
Akhir Perjalanan
Setelah dirasa cukup beristirahat kami kembali melanjutkan perjalanan hiking menuju kota Barakka tanpa sarapan, hanya dibekali secangkir teh dan sereal sachet kecil saja, itupun masih harus dibagi bagi. Tak ada gunanya menunggu mobil di sini, sebaiknya kami terus berjalan saja, jika memang tak ada mobil yang naik kearah kampung Rante Lemo,paling tidak kami sudah lumayan bergerak jauh menuju kota Barakka, demikian pikir kami.
Sekitar pukul 10:00 WITA pagi kami tiba di sebuah kampung kecil yang terdiri hanya sekitar enam buah rumah, di sana ada sebuah warung kecil, segera saja kami berhenti dan memesan makanan, dan makan dengan sangat lahap. Sembari kami makan, sang Ibu pemilik warung bercerita, bahwa beberapa waktu lalu ada perampokan di daerah sini, makanya masyarakat lebih berhati hati dan menaruh curiga pada setiap orang asing.
Oo.. pantas saja sikap bapak-bapak berbadik tadi malam seperti itu terhadap kami, sebuah kejadian buruk perampokan membuat mereka harus lebih waspada dan hati hati terhadap orang asing seperti kami ini.
Selesai makan dan melepas lelah, perjalanan kembali dilanjutkan, kali ini tantangannya berbeda, matahari bersinar dengan terik, memanggang kami sepanjang jalan. Sungguh memperihatinkan melihat keadaan masing masing, wajah kusam kelelahan, mata merah karena kurang tidur. Namun, harus bagaimana lagi.., kami harus tetap melangkah dan berjalan, menunggu adalah hal percuma tak ada suara mobil sepanjang perjalanan.
Hingga ketika matahari sudah hampir tepat di atas kepala...
Kami tiba di sebuah tikungan yang menurun landai, sayup sayup saya mendengar suara raungan mesin yang mendaki bukit, secercah harapan muncul, dan benar saja, tak lama kemudian sebuah truk menyongsong ke arah kami dari depan. Saya melambaikan tangan kearah sopir truk dan beliaupun menghentikan mobilnya di depan kami..
� Bisa ke Barakka mas..? kami dari Latimojong, mobil yang kami tumpangi rusak dan kami berjalan dari tadi malam...�
Kira kira demikianlah kalimat saya waktu itu, memelas kepada sang sopir truk.
� iya, tapi tunggu disini , kami antar barang ke atas dulu ji...� jawab sang sopir, sama seperti maksud imbuhan mi, imbuhan ji juga sering digunakan dalam dialog keseharian di daerah ini.
Alhamdulillah..
Akhirnya perjalanan sangat melelahkan ini berakhir juga, semua anggota team menarik napas lega, canda dan tawa mulai berderai, walau lelah belumlah sirna.
Tak lama kemudian truk itupun datang kembali, membawa kami ke kota Barakka. Setibanya di Barakka, tidak butuh waktu lama kami sudah memperoleh mobil sewaan yang akan membawa kami menuju kota Makassar, dan perjalanan pun dilanjutkan ke kota Makassar tanpa kendala ...
Tamat
***
Permohonan maaf yang sedalam dalamnya kepada semua rekan pendaki, begitu banyak kesalahan yang saya pribadi lakukan selama perjalanan, semoga teman teman sudi memaafkan dengan ikhlas. Saya mengutip kata kata mas Haris pada pendakian ke Latimojong ini � Pada saat kondisi kondisi sulit, kadang kita terjebak dalam emosi dan kemarahan, dan kemarahan itu dapat kita berikan kepada siapa saja, sisi buruknya adalah, kadang kita menjadi lupa akibat dari kemarahan itu sendiri�.
Terimakasih tak terhingga buat :
- Allah SWT, kepada-Nya lah kita semua di kembalikan.
- Rasullullah SAW, Engkaulah teladan dan junjungan kami.
- Seluruh keluarga, sahabat, dan teman yang telah mendukung suksesnya pendakian ini.
- Ibu yang baik hati di Rante Lemo, dan semua masyakat desanya.
- Mas Ipang dan semua penduduk desa Karangan,
- Mas Anto, dan Mapala Atmajaya Makassar.
- Arcopodo Adventure Club Sangatta
Catatan :
Setelah lama pendakian ini usai, ketika merenung dan mengingat lagi perjalanan pendakian yang telah menjadi kenangan ini, saya menemukan sebenarnya ada banyak sekali pelajaran yang dapat saya peroleh, namun saya akan membagikan dua saja dalam catatan ini, yang menurut saya paling penting. semoga saja dapat bermanfaat bagi kita semua.
Yang pertama adalah tentang berbuat baik dan mulia kepada siapa saja, dimana saja, dan kapanpun juga. Mengingat kebaikan Ibu di Rante Lemo berikan kepada kami, ketulusan mas Ipang yang menemani bahkan hingga perjalanan kami pulang, juga mas Anto yang penuh keakraban menemani sejak kami menginjak pulau Sulawesi hingga kami pulang. Saya menduga, bahwa bisa jadi itulah pertemuan kami satu satunya kepada ketiga orang baik tersebut, bisa jadi itu adalah pertemuan kami untuk yang pertama dan terakhir. Boleh jadi akan bertemu lagi, tapi apakah momentnya akan sama seperti waktu itu ?, apakah orang orangnya juga sama dan selengkap kemarin ?. saya kira tidak.
Saya membayangkan bahwa alangkah menyesalnya kami, jika saja pada kesempatan itu kami berlaku, bertutur kata, ataupun bertindak tidak terpuji kepada mereka semua. Karena melihat kondisi perjalanan ke gunung Latimojong yang sedemikian rupa, keyakinan bahwa hanya itulah kesempatan satu - satunya yang kami miliki untuk mengunjunginya semakin kuat.
Belajar dari hal itu, maka penting sekali bagi kita semua untuk dapat mempergunakan waktu sebaik baiknya untuk berbuat baik dan mulia pada sesama, senantiasa mengingat, bahwa kita hanya memiliki kesempatan satu kali saja sepanjang waktu yang dianugrahkan kepada kita, jikapun ada kesempatan kedua, ketiga, dan seterusnya, keadaannya sudah pasti berbeda, paling tidak, tidak akan persis sama seperti kesempatan pertama yang telah kita lewatkan.
Jadi inti pelajarannya, berbuat baiklah pada sesama manusia dan alam, karena hanya inilah satu satunya kesempatan terbaik yang kita miliki.
Pelajaran kedua, adalah tentang leadership dan kepemimpinan. Leadership adalah tentang karakter, tentang attitude, tentang melihat masalah dan memberi respon, tentang melihat kelemahan dan memberi motivasi, tentang menemukan kesulitan dan mencari solusi. Leadership yang sukses tidak dapat dibentuk di atas egoisme pribadi, di atas ambisi yang membutakan.
Pada pendakian ke gunung Latimojong ini, saya oleh teman teman dipercaya untuk memimpin perjalanan dan pendakian, tapi dengan penuh rasa menyesal dan malu, saya katakan, saya gagal secara leadership memimpin pendakian ini, jiwa muda yang bodoh, arogan, ego dan ambisius menjadikan saya membuat keputusan keputusan yang jauh dari empati seorang leader yang baik.
Jika kesuksesan pendakian gunung hanya diukur dari mencapai puncak, lalu turun kembali dengan selamat. Maka pendakian Latimojong sukses, dan saya sukses memimpin perjalanan ini. Tapi kesuksesan leadership tidak cukup hanya diukur dari parameter itu saja, ada hal hal lain yang lebih spesifik, yang lebih berhubungan dengan karakter dan mental, pelajaran ini tidak akan saya lupakan.
***
Para pendaki
Searah jarum jam dari kanan atas :
Haris Fadilah, Surya Yusefa, Mas Anto, Lalu Supratman, Harrykarna, Bang Ipang, Farsity,
Sugeng Santoso, Anton Sujarwo
Tabel rute perjalanan dan pendakian gunung Latimojong
A. Via kota Pare Pare
No | Rute | Prediksi waktu | Prediksi Biaya | Keterangan |
1 | Kota Pare � Pare � Enrekkang - Barakka | 3 � 4 jam | Rp,50.000 / orang | Tahun 2011, via mobil carteran, biaya kemungkinan menyesuaikan tarif terbaru |
2 | Barakka - Kampung Rantelemo | 5 � 6 jam | Rp, 25.000 | Via truk sayur, angkutan hanya ada hari Senin dan Kamis, waktu bisa lebih lama pada musim penghujan |
3 | Rantelemo � Basecamp Kampung Karangan | 1 jam | - | Trekking |
B. Via kota Makassar
No | Rute | Prediksi waktu | Prediksi Biaya | Keterangan |
1 | Kota Makassar � Kota Barakka | 7 � 8 jam | Rp,125.000 / orang | Tahun 2011, via mobil carteran, biaya kemungkinan menyesuaikan tarif terbaru |
2 | Barakka - Kampung Rantelemo | 5 � 6 jam | Rp, 25.000 | Via truk sayur, angkutan hanya ada hari Senin dan Kamis, waktu bisa lebih lama pada musim penghujan |
3 | Rantelemo � Basecamp Kampung Karangan | 1 jam | - | Trekking |
B. Rute Pendakian gunung Latimojong via kampung Karangan
No | Rute | Prediksi waktu | Via | Keterangan jalur |
1 | Kampung Karangan � Pos 1 | 1 � 1,5 jam | Trekking | Perkebunanan kopi penduduk, medan masih landai. |
2 | Pos 1 � Pos 2 tepi Sungai | 2 � 2,5 jam | Trekking | Hutan basah, medan masih cenderung landai, lebih banyak melipir sisi bukit |
3 | Pos 2 Tepi Sungai � Pos 3 | 45 menit - 1 jam | Trekking / traverse | Tanjakan terjal, disarankan membawa webbing untuk memudahkan pendakian |
4 | Pos 3 � Pos 4 | 1 � 1,5 jam | Trekking | Medan variatif, tanjakan dan landai |
5 | Pos 4 � Pos 5 | 2 � 2,5 jam | Trekking | Medan variatif, landai dan tanjakan dalam lindungan kanopi hutan yang tebal |
6 | Pos 5 � Pos 6 | 1 � 1,5 jam | Trekking | Mendekati pos 6 perubahan vegetasi mulai terasa |
7 | Pos 6 � Pos 7 | 2 � 2,5 jam | Trekking | Tanjakan cukup terjal, medan pohon cantigi, dan vegetasi hutan lumut yang lebat |
8 | Pos 7 � Pelawangan kolam rumput dibawah puncak Radio | 20 � 30 menit | Trekingg / traverse | Medan terjal dan licin namun pendek |
9 | Pelawangan kolam rumput � puncak Rante Mario | 30 menit | Trekking | Medan turun naik, variatif, didominasi oleh batuan dan tumbuhan cantigi |
A. Lokasi sumber air dan camp ground
1. Ada banyak sumber air sepanjang jalur dari kampung Karangan menuju pos satu, yang dengan mudah ditemui di tepi jalur pendakian.
2. Sungai berair sangat jernih dan dingin di pos dua, dan di pos dua ini juga, terdapat camp ground di bawah batu besar yang menampung maksimal tiga tenda.
3. Camp Ground di pos lima dapat menampung hingga sepuluh tenda, menurun ke arah lembah sebelah kiri pos lima ini juga terdapat sumber air namun jaraknya cukup jauh.
4. Selepas pos enam menuju pos tujuh, hutan lumut basah sangat lebat dan ini pada kondisi survival bisa menjadi alternatif sumber air yang melimpah.
5. Pos tujuh, sebelah kiri menurun sekitar tiga puluh meter ada sungai kecil yang berair sangat bening, pada musim hujan airnya akan sangat melimpah.
6. Pelawangan di bawah puncak radio, di sini terdapat kolam kecil diantara rerumputan, namun tidak dianjurkan mengandalkan sumber air ini, karena seperti pengalaman kami saat itu, menjelang subuh sumber air kering, hilang meresap di balik rerumputan. Di pelawangan ini juga adalah camp ground yang luas, puluhan hingga ratusan tenda bisa di tampung di sini, dan tempat ini juga merupakan camp terbaik sebelum melakukan summit attack.
Peta sederhana jalur pendakian gunung Latimojong
0 Response to "Perjalanan Ke Puncak Sulawesi : Bagian Empat. Terakhir."
Posting Komentar