Antara rasa kasihan dan amarah, profesi ini mungkin hanya ada di Indonesia



��You can�t find this in France Pattrick��
 
Ucap saya saat itu di dalam sebuah bus yang sesak oleh penumpang jurusan Borobudur menuju Jogjakarta, kepada seorang bule ramah tinggi besar bernama Patrick yang baru saja kami berkenalan. 

�� ya not to much,and not everyday��
 
jawabnya sambil menatap seorang pengamen perempuan yang baru saja mau keluar dari bus yang kami tumpangi setelah menyelesaikan shownya.

�.. Nobody want to be like that, become a suddenly musician just for food, just for her kids, and just for them life�� tambah saya dengan bahasa Inggris yang masih banyak patah patahnya.

Pattrick tidak menjawab,ia hanya mengangguk sambil terus memandangi langkah pengamen perempuan yang mulai menjauhi bis tersebut.

Ya beberapa hari yang lalu, saya berjumpa seorang pengamen perempuan berusia sekitar 25 tahunan, bersandal jepit, kaos oblong warna biru, mencekal gitar kecil ditangannya, dengan rambut pendek yang dibiarkan terurai tanpa topi yang membuatnya tampak kering dibakar matahari kota Jogjakarta. 

Bus yang saya tumpangi itu berisi hampir setengahnya bule, dan menghadapi pengamen yang turun naik dari bus tersebut, diantara semua bule yang ada, saya perhatikan hanya saja Pattrick yang terlihat lebih perduli, yang lainnya hanya menggeleng dan cuek saat tangan si pengamen menadahkan kantong plastik di hadapan mereka.

Untuk pengamen perempuan tadi, seperti saya, ia pun mengambil beberapa uang logam receh untuk dimasukkan ke dalam plastic bekas wadah makanan ringan yang disodorkan pengamen tersebut kepada kami. Kebetulan saya dan Pattrick duduk bersebelahan sehingga sepanjang perjalan bisa ngobrol, meskipun masih terkendala bahasa, karena kemampuan bahasa inggris saya yang masih payah.

Bagi orang yang biasa menggunakan jasa bis kota untuk moda transportasinya, utamanya bis yang ekomomi yang semua orang biasa masuk, yang kernetnya biasa berteriak teriak sambil bergelantung di pintu bis. Maka kehadiran pengamen, pedagang asongan, pedangang koran, dan lain sebagainya merupakan suatu yang sangat biasa mewarnai keseharian mereka. Namun, saya pikir ini adalah hal yang baru bagi Pattrick dan rekan rekannya, seperti yang ia katakan, di Negara asalnya sana, Perancis, tidak banyak yang mengamen dalam bis kota seperti di Indonesia. Pengamen di sana biasanya berdiri, atau duduk di pinggir jalan yang banyak dilalui pejalan kaki, lalu mulai mendemontrasikan keahlian mereka, dan dari orang orang yang menikmati skill mereka, dan yang murah hati dapat meletakkan uang dalam tempat yang telah mereka sediakan, tidak disodorkan satu satu ke depan wajah para penonton.

Berbicara mengenai para pengamen di negeri tercinta ini, saya pikir tidak ada yang mau dan bercita cita menjadi pengamen bis kota dalam hidupnya. Khususnya orang orang seperti perempuan yang saya temui di bis kota tersebut, sangat tidak mudah hidup dalam posisinya, dan tidak semua orang akan sanggup bertahan jika bertukar nasib dengannya. 

Seorang perempuan muda tentu menginginkan hidup yang penuh kelembutan, bertabur kasih sayang dalam rumah tangga mereka, hari harinya dipenuhi dengan kesibukan mengurus rumah tangga dan anak anak mereka, dan suami mampu mencukupi semua hal yang telah menjadi kebutuhan mereka. Namun, tentu saja tidak semua perempuan seberuntung itu, beberapa diantaranya terpaksa mengadu nasib untuk tetap bisa makan dan bertahan hidup, untuk membiayai sekolah dan kebutuhan anak anak yang menjadi harapan mereka, dan saya pikir perempuan yang saya dan Pattrick temuidi bi situ adalah salah satunya.

Jadi, bukanlah sebuah sikap dan tindakan yang mulia lagi tepat, jika kita justru memandang mereka dengan sebelah mata, dengan tatapan menghina lantara nasib mereka yang mereka sendiripun tidak menginginkannya. 

Tidak ada salahnya memberikan uang recehan dalam saku anda untuk mereka, itu tidak akan membuat anda jatuh miskin.

Di tempat tinggal saya saat ini,di kota Samarinda, saya mengenal ada seorang perempuan paruh baya yang pekerjaannya juga mengamen dari rumah ke rumah. Ia telah beberapa kali datang ke depan toko milik saya, dan memperdengarkan gemerincing alat musiknya yang terbuat dari beberapa penutup botol, yang disatukan dalam sebuah kawat pendek itu. Suaranya ibu pengamen ini jauh dari merdu, beberapa orang mungkin akan merasa gatal telinganya saat mendengarnya sedang bernyanyi.

Namun persepsi anda mungkin akan berubah jika anda meluangkan waktu untuk mengajaknya ngobrol dan berbicar mengenai mengapa ia memilih mengamen sebagai aktifitasnya mencari nafkah. Ibu itu memiliki 4 orang anak, semuanya besekolah, mulai dari SMA hingga si bungsu yang masih berumur kurang lebih 3 tahunan. Dan tentu saja semuany  butuh biaya setiap hari, tempat tinggalnya mengontrak, dan suami bekerja sebagai buruh bangunan yang penghasilannya tak seberapa, dan ia juga tidak memiliki keterampilan lain sebagai cara untuk membantu ekonomi keluarga, hingga cara mengamen dari rumah ke rumah ia pilih untuk ia lakukan.

Bagaimana jika hal itu terjadi pada kehidupan kita, apakah kita akan bisa melakukan hal yang sama sepertinya� ?, tetap mencari nafkah yang halal, meskipun hampir semua orang menatapnya dengan hina.

***


Jika figur pengamen yang sebelumnya akan menarik simpati dan empati kita, menarik hati kita untuk iba dan membantunya dengan apa yang bisa kita lakukan. Maka, saya akan menunjukkan satu lagi jenis pengamen yang saya temui, yang mungkin saja akan membuat kita jadi  jengkel dan sebal.

Untuk mengunjungi rumah kakak saya yang ada di daerah Delanggu, masuk wilayah Klaten, Solo, Jawa Tengah, sore itu saya kembali naik sebuah bis kota jurusan Jogja � Solo dari terminal Giwangan, Kota Jogjakarta. Bis pun berangkat menyusuri jalur yang padat oleh pengendara di jalan raya, pedagang asongan dan pengamen naik turun ke atas bis untuk menjajakan dagangan mereka.

Ketika  bis yang saya tumpangi berhenti sejenak di depan masjid agung Al Aqsa, kota Klaten, yang lokasinya persis di pinggir jalan raya. Saya yang duduk persis di dekat jendela, tiba tiba melihat seorang laki laki berjalan cepat menuju sebuah warung makan yang ada di pinggir jalan raya, lelaki itu kemudian mengambil sebuah benda dibawah atap warung makan  yang terbuat dari terpal berwarna merah, dan benda itu adalah ternyata sebuah gitar kecil seukuran biola yang biasa digunakan para pengamen pada umumnya.

Kemudian lelaki berkemeja coklat, bercelana jeans itu pun naik ke atas bis yang saya tumpangi. Sebelum memulai penampilannya ia mengawali dengan beberapa kalimat bijaksana yang diusahakan untuk enak didengar telinga penumpang. Kemudian ia pun bernyanyi, yah biasa saja, permainan gitarnya biasa, suaranya juga nggak bagus , hanya terkadang dipaksa paksa disamain dengan gaya bernyanyi mas Ebiet G Ade,  Namun tentu saja, masih sangat jauh bedanya.

Sebelum menutup penampilannya si pengamen itu pun mengakhirinya dengan beberapa ucapan bijaksana tentang Negara, perdamaian, kerukunan, kasih sayang, dan bahasan bahasan sejuk lainnya. Kemudian ia pun menyusuri koridor bis untuk menagih hasil penampilannya.

Laki laki pengamen itu kemudian turun melalui pintu bagian depan bis, ia berjalan ke warung beratap terpal merah tadi, dan menyelipkan gitar kecilnya di tempatnya semula. Lelaki itu lalu merogoh sakunya yang berisi recehan hasilnya mengamen di bis yang saya tumpangi barusan, menyerahkan beberapa diantaranya kepada pemilik warung, lalu saya perhatikan ia megambil sebatang rokok, dan menyalakannya di mulutnya.

Dengan bergaya kemudian si pengamen itu duduk di sebuah becak yang terparkir dari sana, sambil bersandar tiduran, ia menghisap rokoknya dengan nikmat, membuka kakinya dengan duduk mengangkang lebar di atas becak tersebut, dan wow baru saya lihat ternyata ia menggunakan sepatu kulit yang berkilat di timpa sinar matahari.

Dan kemudian speechless�, saya tak tahu harus bilang apa lagi�

Saya pikir lelaki 35 tahunan itu akan mengumpulkan uang dari mengamennya untuk keperluan anak isterinya, atau hal yang lebih penting lainnya, namun melihat tingkah lakunya saya tidak yakin, bahwa kalimat bijaksana yang banyak ia ucapkan dalam setiap penampilannya, juga ia terapkan dalam kehidupannya sendiri.

Ini bukan judge book by cover, namun kenyataan itu sungguh membuat saya tidak nyaman melihatnya�



Salam
Please like and share if you like this article

0 Response to "Antara rasa kasihan dan amarah, profesi ini mungkin hanya ada di Indonesia"

Posting Komentar