Ibu penjual jamu sepeda onthel dengan empat gelar sarjananya




Beberapa bulan yang lalu saya ingat pernah menulis di dinding facebook sebuah cerita singkat tentang seorang penjual jamu sepeda onthel yang tinggal di kota Sangatta, Kalimantan Timur. Saya ingin megulasnya kembali dalam blog yang sederhana ini, semoga saja bisa lebih bermanfaat daripada sekedar menulis di wall facebook, yang dalam beberapa saat ceritanya akan menghilang tertimpa banyak cerita lain dari pengguna lainnya, sehingga pelajaran yang harapannya bisa diperoleh akan menguap begitu saja, seiring gerakan mouse yang di klik saat mengalihkan page tersebut. Dengan ditulis diblog harapannya menjadi lebih leluasa untuk dibaca, dan lebih mudah ditemukan kembali saat masih ingin melihatnya.

Baiklah, kita akan memulai ceritanya,

Ketika kehamilan anak kami yang pertama dulu, isteri saya berlangganan jamu untuk membantu menambah kebugaran dan kesehatan. Dan karena berasal dari kota Jogjakarta, yang sangat akrab dengan tradisi jawanya, yang  salah satu diantaranya adalah minum jamu setiap hari, maka berlangganan itupun berterusan hingga beberapa bulan waktu kemudian.

Penjual jamu tempat isteri saya berlangganan itu adalah seorang Ibu separuh baya, usianya sekitar 45 � 50  tahun, penampilannya sederhana, mengunakan sepeda onthel, dan caping dikepalanya. Ibu ini berkeliling sekitar kawasan tempat tinggal saya mulai jam 06 : 30 pagi hingga biasanya ia pulang jam 10 atau jam 11 siang. Ia tinggal disebuah rumah kontrakan tidak jauh dari pasar tradisional kota Sangatta, tempat dimana kami menetap saat itu.

Karena setiap hari bertemu, kadang kadang sempat juga mengobrol dengan isteri saya, atau jika saya sedang didepan ruko teman kami tinggal, sempat pula saya ikut mengobrol dengan Ibu penjual jamu ini. Kami tidak tahu siapa nama beliau, namun budaya warga kota  sangatta yang berasal dari berbagai macam suku bangsa, telah terbiasa memanggil perempuan penjual apa saja, utamanya yang berasal dari jawa dengan sebutan � Bu Lek �, baik itu penjual jamu, penjual gorengan, penjual nasi uduk, penjual pecel, penjual sayur, semuanya di panggil bu lek, tidak terkecuali Ibu penjual jamu yang satu ini, tetangga sekitar lebih familiar dengan sebutan � bulek jamu � untuknya.

Berbanding lurus pula dengan sebutan Bu lek untuk semua pedagang perempuan yang umumnya berasal dari Jawa, maka sebutan �Pak Lek � pun hampir tersemat untuk semua laki laki yang berjualan diseantero kota itu, entah itu ia dari Sunda, Jawa, atau Sumatera, entah ia berdagang siomay, berdagang bakso, mie ayam, barang pecah belah, tukang sol sepatu, semuanya akan mendapat panggilan yang sama, Pak lek. Nama belakangnya saja yang membedakan, yang menandakan profesi masing masing, jadi ada yang dipanggil pak lek bakso, pak lek penthol, pak lek siomay, dan lain lain.

Saya dan isteri adalah yang tidak termasuk mengikuti tradisi tersebut, kami merasa lebih nyaman untuk memanggil mereka dengan sebutan bapak, ibu, ataupun mas, dan mbak, untuk usianya yang masih terlihat belum begitu berumur.

Suatu ketika saya ikut duduk di depan ruko, menemani isteri saya yang menunggu kedatangan Ibu penjual jamu, atau bu lek jamu bahasa lainnya.. -).

Tidak lama kemudian si Ibu penjual jamu ini pun datang, dan seperti biasanya beberapa orang tetangga kiri kanan rumah, termasuk isteri saya juga, mengelilingi sepedanya untuk antri membeli jamu yang ia jual. Karena kami hanya di depan ruko sendiri, jadi saat itu isteri saya adalah orang yang terakhir yang dilayaninya.

Sambil menyodorkan gelas berisi jamu yang sudah diaduk kepada isteri saya, si Ibu ini pun duduk melepas lelah di sebuah bangku panjang yang memang disediakan di depan ruko. Dan mulailah kami ngobrol beramah tamah dengannya, mulai dari saling menanyakan kabar, kapan mudik, bagaimana kabar keluarga, dan hal hal ringan lainnya.

Hingga kemudian obrolan malah agak menjadi lebih panjang juga, ketika saya ikut menambahkan disana sini, untuk menambah keakraban.

�� Ealah kerja kayak gini nih apa tho mas, sudah lebih dari dua puluh tahun saya jualan jamu belum bisa bikin rumah sendiri juga, tapi ya disyukuri saja, yang penting Insya Allah bisa bantu bantu suami untuk mencari nafkah�dan bisa buat anak anak sekolah�� Ibu penjual jamu itu bercerita sambil tersenyum 

�� Oya putera puterinya berapa Bu�? � Tanya isteri saya menimpali

anak saya itu tiga, satu disini masih SMA, dan sebentar lagi kuliah. Dua kakaknya di jawa, sudah sarjana semua, dan Allhamdulillah juga sudah bekerja semua, ya hasil jualan jamu ini mbak� � jawabnya masih dengan tersenyum menoleh kearah isteri saya yang duduk persis disampingnya.

�� wah hebat Bu, tidak banyak orang tua yang bisa melakukan itu, bahkan untuk mereka yang mungkin  memiliki pekerjaan lebih hebat dari kita kita ini� � saya menambahkan, mulai ada rasa kagum dalam diri saya kepada Ibu ini.

sebenarnya yang saya kuliahin itu 3 mbak, tapi yang satu itu bukan anak kandung, ia keponakan saya, pas waktu tamat SMA kemarin mau kerja karena nggak bisa kuliah, orang tuanya nggak punya biaya��
 
Saya dan isteri serius memperhatikan Ibu ini, sambil menunggu kalimatnya selanjutnya..

�� tapi saya kasihan, anak e pinter, dan nggak nakal, sama orang tua penurut, saya sayang banget sama dia, akhirnya tak bilangin, sudah kamu kuliah saja yang bener, biayanya biar Bu de yang cariin,, ya Allhamdulillah sekarang juga sudah selesai kuliah dan sarjana, sekarang kerja dijakarta� ,,wes kaya gitu mbak�� Ibu itu mengakhiri cerita singkatnya, sambil tertawa ringan, menutupi perasaan yang haru dengan mata yang mulai berkaca..

�.. wah Ibu hebat sekali.. � tambah isteri saya ikut terharu..

***

Kawan semua�

Jika kita mau menyelam lebih dalam, atau berkhidmat lebih jauh, kadang kita akan menemukan bahwa lebih banyak orang orang hebat itu tersamarkan dalam penampilannya yang besahaja, yang sederhana, yang bahkan sama sekali  tidak terpikirkan oleh kita. 

Dan lebih ironisnya kadang, kita yang  tidak memiliki prestasi apa apa ini, cenderung memandang remeh orang orang hebat tersebut lantaran pekerjaan, status sosial, pendapatan, yang menurut persangkaan kita, kitalah yang lebih baik daripada mereka.

Sehingga tidak jarang kita jumpai, bagaimana anak anak muda, bahkan juga ada orang yang telah  dewasa, memperlakukan para pedagang seperti Ibu penjual jamu tadi dengan kurang hormat. Padahal, setelah mendengar cerita singkatnya waktu itu, saya tidak melihat orang orang super gaya di sekitar lingkungan saya itu ada yang bisa mengunggulinya, atau bahkan hanya untuk menyamainya.

Kita bisa bayangkan, menyekolahkan tiga orang anak hingga selesai dan memperoleh gelar sarjana, dan satu lagi yang ke empat, yang saat ini masih SMA dan sebentar lagi juga kuliah, yang saya yakin Insya Allah juga akan mampu meraih gelar sarjana pula. Dan semuanya itu dibiayai hanya dengan hasil berjualan jamu menggunakan sepeda onthel setiap hari, yang setiap gelasnya hanya seharga Rp.1.000 atau Rp, 2.000 perak saja.
Memang suaminya juga bekerja, dan pekerjaannya adalah berjualan sayur dipasar tradisional, yang bagi setiap individu ponggah, dipandang sebagai profesi yang rendah.

Bagaimana kita bisa mengatakan, bahwa kita lebih hebat dari Ibu penjual jamu ini�?

Bahkan seseorang anak keponakannya pun, yang terancam terhenti pendidikannya sebatas SMA karena kekurangan biaya, ia ambil tanggung jawabnya, ia sekolahkan hingga selesai, hingga meraih gelar sarjana, yang biayanya bersumber dari setiap tetesan  keringatnya mengayuh sepeda onthel tua mengelilingi jalanan panas dan berdebu di kota Sangatta, yang mayoritas penduduknya sebagai karyawan perusahaan batu bara itu. Bahkan lebih luar biasanya lagi, ia kesampingkan keinginannya untuk membangun rumah., demi membiayai pendidikan anak dan keponakannya.

Saya katakan, Ia bukanlah seorang penjual jamu sembarangan, yang seenaknya orang panggil � bulek jamu�!!!� ,tanpa rasa hormat dan tata karma. 

Ibu itu orang hebat, ia bukan penjual jamu biasa.

Jika ada toga yang disematkan dikepala anak anak dan keponakannya saat wisuda, maka yang lebih pantas menerimanya, adalah dirinya, adalah suaminya. Kepala mereka yang kepanasan dan kehujanan dalam berjualan mencari biaya pendidikan itulah yang lebih pantas diberi toga, dan diberi penghormatan.

Merekalah petarung tangguh dengan pangkat kehormatan yang sebenarnya.

Lalu,, bercermin dari fakta ini, tidakkah kita malu�?

Terlalu cepat megaduh saat terbentur sesuatu, terlalu gampang meriang melihat penghalang yang tak kunjung hilang, atau terlalu cepat meminta kemudahan dan bantuan uluran tangan, ketika menemui sesuatu yang kita dituntut untuk tetap bertahan, dan terus berjuang.

Lantas bagaimana pula, dengan orang orang yang rela menjajakan badan hanya untuk berbagai alasan, yang jika dipikir lagi, sungguh tidak bisa dibenarkan. Atau orang orang yang merenggut kehormatan dan kegagahannya sendiri, dengan menjadi penjilat uang rakyat, penipu, pembuat onar, yang katanya hanya karena alasan kekurangan�?

Maha Suci Allah, yang Maha Mencukupkan

Jadi, jika sekarang kita merasa dalam kesulitan, kita merasa rezeki kita yang terus kurang, kita merasa tanggung jawab yang terlampau berat untuk kita pikul,  ingatlah lagi, bahwa kita masih punya kekuatan untuk bertahan, masih punya seratus ribu kemungkinan untuk tetap bisa memenangkan pertandingan. Selama kita terus berjuang, dalam kegagahan dan ketabahan, dalam koridor dan jalan yang telah digariskan Tuhan. 

Dan yakinlah kawan, Insya Allah kita akan memenangkan pertarungan, seperti Ibu penjual jamu itu, dan gelar 4 sarjananya�



Salam.
Please share and coment jika dirasa bermanfaat.

0 Response to "Ibu penjual jamu sepeda onthel dengan empat gelar sarjananya"

Posting Komentar