Setelah bersusah payah merayapi tebing terjal dari Pos II ke Pos III di belantara gunung Latimojong, berikut saya kembali akan menuturkan perjalanan kami selanjutnya..
Selamat membaca...
***
Pos Empat
Di sepanjang jalan yang kami lewati banyak terlihat jejak pencari rotan dan pemburu tapir, mamalia endemik pulau Sulawesi. Terkadang kami melewati medan berbatu dan penuh akar, kadang juga dihadang oleh pohon tumbang yang licin dan basah. Hingga tidak terasa sekitar pukul 09:00 WITA kami sudah mencapai Pos empat, menambah dramatis dalam pendakian kali ini, kaki kiri saya sempat terkilir karena kekurang hati-hatian saya hingga sepatu yang saya gunakan terjepit di sebuah celah batu sewaktu mendaki tadi, untunglah dalam team ini ada seorang yang lumayan faham tentang penanganan hal hal semacam ini, mas Sugeng orangnya, beliau adalah salah satu sahabat terbaik saya, sosok paling lembut dan penyabar dalam club Arcopodo, mas Sugeng juga adalah anggota Arcopodo Adventure Club yang sudah dua kali mengikuti pendakian yang di adakan club, yang pertama adalah pendakian di gunung Semeru pada bulan Juni 2010 yang lalu, dan yang kedua adalah pendakian di gunung Latimojong kali ini.
Aktifitas sehari hari mas Sugeng adalah seorang pegawai negeri di Dinas Kesehatan kota Sangatta, jadi ia sudah sangat akrab dengan segala macam bentuk tindakan medis sederhana, bahkan pada salah satu perhelatan PORPROV ( Pekan Olahraga Provinsi Kalimantan Timur ), mas Sugeng pernah bertugas sebagai salah tim medis yang qualified. Hingga tidak menunggu aba aba, kaki saya yang terkilir, oleh mas Sugeng segera ditangani dengan sigap dan cepat, hingga tak lama kemudian saya bisa melanjutkan pendakian kembali.. Allhamdulillah.
Pos Lima
Menjelang tengah hari kami telah sampai di Pos lima, menurut bang Ipang dan memang pada kenyataannya demikian, bahwa antara pos empat dan pos lima adalah jarak antar pos yang terjauh di gunung Latimojong ini, namun medan, vegetasi dan ekosistem masih tidak banyak berubah seperti pada jalur tempuh sebelumnya, hingga tidak banyak yang dapat saya ceritakan tentang kondisi jalurnya. Yang kami lakukan sesampainya di pos lima adalah membongkar peralatan memasak untuk mengisi perut, hidangan siang itu adalah mie instan dan goreng ikan asin, ditutup dengan energen jahe dan snack.
Target perjalanan hari ini adalah bisa mencapai pos tujuh pada pukul 02:00 WITA, karena itu kami tidak bisa berlama lama istirahat di pos lima, setelah beristirahat dan makan siang perjalanan harus segera dilanjutkan menuju pos enam.
Pos Enam
Belum banyak perubahan secara signifikan pada jalur dan medan tempuh, masih hutan yang rapat dan gelap. Barulah menjelang memasuki pos enam, perubahan vegetasi sudah mulai terlihat, tanaman yang tumbuh semakin kecil dan rendah, kabut juga mulai lebih sering turun, dan udara juga sudah terasa lebih dingin. Tak lama setelah itu kami tiba di pos enam, pos ini seperti pada setiap pos di gunung Latimojong sebelumnya, hanya dataran yang agak terbuka sedikit, dengan tumbuhan cantigi gunung tumbuh rapat disekelilingnya.
Rasa lelah yang tak tertahankan, membuat semua anggota tak bisa melewatkan satu pos pun, tanpa duduk beristirahat, disertai minum dan mungkin menikmati bekal yang dibawa.
Dari pos enam ini sempat saya mendongak, memperhatikan jalur yang akan ditempuh menuju pos tujuh, dan ini akan butuh kemauan dan energi ekstra untuk melaluinya, dari pos enam ke pos tujuh, hampir keseluruhan medannya terdiri dari tanjakan yang lumayan membuat wajah setiap anggota team meringis.
Mas Sugeng di Pos Enam
Jika tidak dipaksakan mungkin kami semua sudah malas sekali beranjak dari pos enam menuju pos tujuh, tapi mau bagaimana lagi, target kami hari ini adalah camp di pos tujuh agar besok pagi summit attack dapat dilakukan lebih tepat waktu dan tidak harus tergesa gesa. Saya membuka langkah dan memanggul carrier kembali.
� Ayo.. sedikit lagi pos tujuh, hanya satu tanjakan lagi....�
Saya hanya mendapat senyuman meringis dari beberapa teman sebagai balasannya.
� istirahat dulu mas, capek sekali e...� sambut yang lain, sambil meneguk air putih dari botol minum yang dibawa.
Saya ikut tersenyum dan menahan langkah, namun bang Ipang sudah beranjak dari duduknya dan mulai melangkah lagi, � iya sedikit lagi sampai.., .paling setengah jam.. � tambah bang Ipang ikut memberi semangat sambil mengisap rokoknya.
Tak menunggu lama ,sayapun segera bergerak dan mulai kembali mendaki mengikuti bang Ipang. Meninggalkan teman teman lain yang masih beristirahat.
Secara pribadi saya merasa kagum juga �iri� pada bang Ipang, beliau mendaki luar biasa cepat meski beban carrier yang ia bawa adalah terberat diantara kami, mungkin karena beliau sudah terbiasa melakukan hal ini, digunung ini, berkali kali.
Tiba- tiba terlintas di benak saya untuk mencoba mendahului bang Ipang tiba di pos tujuh, atau paling tidak bisa menyamai kecepatan mendakinya, tapi baru mendaki sekitar lima belas menit, napas saya sudah tersengal sengal, semakin dipaksakan semakin megap megap rasanya. Sepuluh langkah berikutnya saya menyadari, menandingi kecepatan mendaki penduduk kaki gunung yang sudah berkali kali mengunjungi tempat ini untuk mengantar pendaki, ataupun hanya berburu tapir, bukanlah keputusan tepat. Saya akan mati konyol jika meneruskan ambisi bodoh itu.
Belantara Lumut Di Ketinggian
Perubahan vegetasi jelas sangat terasa dalam perjalanan menuju pos tujuh ini, tanaman cantigi gunung yang semula mendominasi semenjak beranjak dari pos enam, setengah jalan selanjutnya kami sudah memasuki belantara lumut yang luar biasa lebat, serasa masuk ke dalam dunia antah berantah, dunia dongeng pada komik anak anak, atau dunia pada film � mysterious Island� nya Dwayne Jhonson. Semua tempat beselimut lumut, akar, batang, ranting, bebatuan, dan semuanya..
Semakin jauh mendaki, pohon pohon berlumut semakin jarang, ketinggian pepohonan juga semakin rendah, hingga tidak lama kemudian kami tiba di sebuah dataran terbuka yang cukup lebar, bebatuan gunung sudah mulai menonjol dimana mana, pemandangan di sini indah sekali, ini pertama kalinya kami dapat melihat secara luas ke sekitar tanpa terhalang oleh rimbunnya pepohonan. Ya ini dia pos tujuh gunung Latimojong, kami sudah sampai. Saya tiba kurang lebih lima belas menit setelah bang Ipang, teman teman pendaki yang lain menyusul satu persatu setelahnya.
Belantara lumut gunung Latimojong ( gambar ini diambil saat perjalanan turun )
Pos Tujuh dan Sungai Kecil Di Atas Gunung
Satu hal juga yang membuat saya menyukai gunung Latimojong adalah, bahwa gunung ini kaya sekali dengan air, beda jauh seperti gunung Slamet atau gunung Merapi dipulau Jawa, yang air adalah hal yang hanya bisa kita dapatkan di kampung terakhir sebelum mendaki, di atas gunung susah sekali untuk meperoleh sumber air, kecuali jika ada hujan ataupun di peroleh dengan cara survival, seperti pengumpulan embun, kondensasi dan cara cara survival lainnya.
Beda cerita di gunung Latimojong ini, di sini air adalah sumber daya yang sangat melimpah, sejak mulai mendaki, kita akan banyak sekali menjumpai air dengan kualitas prima. Sepanjang jalan menuju pos satu, tak kurang dari empat sumber air jernih yang mengalir dengan mudah dapat ditemukan, dipos dua bahkan ada sebuah sungai bening yang berarus cukup besar, di pos lima juga terdapat air, hanya saja yang ini lokasinya agak jauh turun kearah lembah sebelah kiri jalur menuju puncak, dari pos enam ke pos tujuh, lumut basah disepanjang jalan adalah sumber air yang melimpah. Dan di pos tujuh tempat kami sekarang ini, bahkan ada semacam kali kecil yang berair sangat jernih, jernih sekali, bahkan seperti kaca saja layaknya, airnya juga mengalir sepanjang waktu, hingga lebih terminimalisir dari hunian bakteri dan jentik, apalagi di musim hujan debit airnya bisa melimpah dan meluap, dan hebatnya lagi air dipegunungan Latimojong ini temperaturnya sangat dingin, selalu minus. Terasa sekali perbedaannya yang saya rasakan jika di bandingkan dengan air di gunung Semeru misalnya, Ranu Kumbolo saat waktu subuh, Insya Allah kita berani masuk ke danau dan berwudhu, dinginnya meyegarkan. Namun, Latimojong disiang hari ini saja, hanya membasuh muka dan mencuci tangan, dingin airnya bukan kepalang, rasanya ngilu hingga ke tulang.
Namun, sekali lagi, ini berdasarkan pengalaman pribadi saya sendiri, mungkin teman pendaki lain merasakan sensasi yang berbeda. Bertolak belakang dengan airnya, suhu Latimojong menurut saya lebih hangat dibanding Semeru, Merbabu ataupun gunung Merapi dipulau Jawa. Selama pendakian di sini, kami ukur, temperatur udara paling jauh melorot di minus 3� C ( mungkin karena ini musim penghujan, jadi sedikit lebih hangat ), lumayan jauh berbeda dengan Mahameru, pasar Bubrah ataupun punggungan Kenteng Syarif yang temperatur dini harinya bisa melorot hingga minus 5 � 10 � C pada puncak musim kemarau.
Sumber air yang melimpah di Pos tujuh
Untuk menjangkau kali kecil yang luar biasa jernih dan bening di pos tujuh ini, jika perjalanan menuju puncak, sumber air ini dapat di akses dengan mengikuti jalan menurun arah kiri, sekitar 30 meter air jernih itu akan segera menyambut.
Air Kolam Yang Menghilang
Melihat kondisi yang masih lumayan siang, sekitar jam 15:00 WITA, juga pantauan medan yang akan ditempuh besok untuk summit attack, kami sepakat bahwa kurang bijaksana jika mendirikan camp di pos tujuh ini. Maka diputuskan kami akan mendaki sedikit lagi, camp akan di dirikan di pelawangan di bawah puncak Radio (saya ragu apakah benar itu sebutan sebenarnya), perjalanan menuju Pelawangan mungkin hanya akan membutuhkan waktu dua puluh menit, hanya saja, jalur kali ini lebih licin dan terjal, minus pegangan lagi, jadi kami harus sangat berhati hati.
Sekitar dua puluh menit melipir punggungan bukit yang licin dan terjal kemudian kami sudah tiba di pelawangan, Pelawangan ini adalah sebuah dataran berumput yang cukup lebar dengan puncak puncak kecil mengelilinginya, di tengah pelawangan terdapat semacam kolam kecil resapan rumput, airnya juga sangat jernih dan dapat dimanfaatkan untuk minum dan wudhu.
Kami mendirikan camp sekitar seratus meter di bawah puncak radio, tidak jauh dari kolam kecil tadi, bang Ipang mengatakan bahwa dari sini, butuh waktu sekitar tiga puluh menit untuk summit attack ke puncak Rante Mario. Sayangnya kami lupa untuk mengambil satu photo pun untuk lebih menjelaskan kondisi di Pelawangan ini, kamera sudah disimpan terlalu dalam saking lelahnya.
Tak banyak yang dapat dilakukan setelah seharian mendaki seperti ini, setelah tenda berdiri, hal yang sudah mendesak juga adalah mengisi perut, selanjutnya beristirahat. Beres acara makan dan minum, setiap orang secara teratur masuk ke tenda masing masing, selain beristirahat, momen ini juga merupakan waktu yang sangat tepat untuk bercerita dan saling mengenal, bang Ipang, Mas Anto dan semua teman teman pendaki yang lain, bercerita dan bengcengkerama dalam tenda masing masing, karena jarak setiap tenda berdekatan maka kadang obrolan menular, sahut menyahut ke tenda sebelah, kadang ada yang hanya ikut tertawa meramaikan, jika ada pokok bahasan yang terdengar lucu dan menggelikan. Tidak lama kemudian, sahutan perbincangan mulai jarang terdengar, lalu lama kelamaan hening sama sekali, semua anggota team terlelap kelelahan, diselimuti dingin dan gelap puncak pegunungan Latimojong
***
Meraih Puncak Sulawesi
Kurang dari pukul 05:00 WITA saya dan mas Sugeng terjaga lebih dulu, bermaksud berwudhu di kolam kecil ditengah Pelawangan, ternyata airnya sudah nyaris kering meresap kedalam rerumputan, dengan keadaan semacam itu kami hanya dapat berwudhu seadanya lalu sholat subuh berjamaah dalam tenda.
Ada satu hal yang menarik saat saya dan mas Sugeng menceritakan tentang air yang kolam yang lenyap kurang dari waktu semalam kepada semua anggota team. Mbak Eva, salah satu anggota team pendaki yang secara usia dan pengalaman merupakan seorang senior bagi kami semua, mengatakan bahwa firasat tentang air yang hilang itu seolah sudah disampaikan kepadanya melalui mimpi tadi malam.
Mbak Eva adalah salah seorang sahabat Arcopodo Club yang kebetulan sedang berdomisili di kota Sangatta, beliau sudah mendaki lumayan banyak gunung, dari gunung Dempo di kampung halamannya di Sumatera Selatan, hingga menyambangi beberapa puncak tinggi di pulau Jawa dan Sumatera. Selain pengalaman dan usianya yang lebih senior daripada kami, Mbak Eva juga merupakan sosok seorang muslimah yang taat, dan setelah mas Sugeng, mbak Eva juga adalah anggota team yang sangat penyabar, jadi ketika beliau mengatakan, bahwa air yang hilang sirna dalam setengah malam bisa jadi saja bukanlah pertanda yang baik untuk kami, maka sulit bagi kami semua untuk tidak ikut merisaukan isyarat pertanda itu.
Tapi ketika kembali lagi kepada maksud dan tujuan kami yang kesini adalah bukan untuk hal buruk dan tercela, maka keyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi, sekecil dan seremeh apapun itu, adalah sudah atas seizin Dzat Yang Maha Sempurna, Allah SWT.. maka tidak alasan bagi kami untuk tetap memelihara kekhawatiran itu lagi, yang harus kami lakukan adalah menuntaskan tujuan perjalanan menuju puncak Rante Mario yang tinggal selangkah lagi, maka kami pun kembali lagi bergerak.
� Bismillah,, Insya Allah nggak apa �apa, yang penting jangan bikin yang aneh aneh.. � mas Sugeng membuka suara menambah keyakinan kami.
� ayo langsung siap siap,, sarapan dulu minum energensaja biar cepat, nanti pulang muncak kita masak paginya..� dari dalam tenda suara mas Haris ikut menyahut.
Semua anggota team mulai bergerak dan bersiap siap, ada yang memasak air, menyiapkan sereal untuk rapan sebelum summit attack, ada yang sibuk menyiapkan dokumentasi, ada juga yang sibuk mencari gaiter yang entah dimana di letakkan saat masuk tenda tadi malam.
Sesuai dengan rencana tadi malam, sekitar pukul 05:30 kami akan memulai summit attack, dan ketika semua persiapan telah kelar, diawali dengan do�a kepada Allah SWT yang Maha Memiliki semesta raya, kami memulai langkah pendakian ke puncak Rante Mario.
Saya berjalan dibelakang mas Ipang yang berjalan cepat di depan, di belakang para pendaki berjalan beriringan dengan jarak sekitar dua sampai tiga meter jauhnya antara satu dengan yang lain. Dan secara pribadi, saya selalu menyukai teknik mendaki seperti ini, melakukan pendakian puncak menjelang pagi hari, mengejar sunset jika memungkinkan, ini adalah favorit saya. Mendaki seperti ini, rasanya benar benar kita mendaki gunung dan meraih puncaknya, sebaliknya jika pencapaian puncak dilakukan sembarangan dan tanpa ritme, saya merasa ada yang kurang,
Dalam keremangan pagi menjelang waktu fajar, setelah naik dan turun beberapa punggungan gunung berbatu dengan tumbuhan cantigi setinggi kurang lebih dua meter bertebaran di sekitarnya, dan melalui beberapa sisi landai yang sangat eksotis, kami tiba di puncak tertinggi gunung Latimojong, Puncak Rante Mario dengan ketinggian sekitar 3445 Mdpl, segala perjalanan yang melelahkan dari Kalimantan terbayar sudah, pemandangan dari puncak sungguh sangat indah dan memukau, apalagi cuaca cerah sekali, sunrise tampil dengan sempurna, desau angin yang lumayan kencang menerpa, semakin mengisyaratkan puncak sebuah ketinggian gunung, luar biasa indah.
Satu persatu semua anggota team pendaki meraih puncak Rante Mario dan meluapkan kegembiraannya, dari yang sekedar berteriak kegirangan, bersujud syukur, melompat lompat hingga yang mengeluarkan poster pacarnya dan mengucapkan kata kata �ajaib�.
Hingga di sini saya tak dapat menjelaskan lagi dengan kalimat dan kata kata yang tepat, hanya akan saya tunjukkan dengan beberapa gambar ini saja, walau ini tentu tidak dapat menggambarkan secara utuh betapa indahnya view dari puncak Rante Mario, gunung Latimojong.
Keseluruhan anggota team di Puncak Gunung Latimojong
Salah satu panorama yang bisa kta dapatkan di puncak
***
Bersambung kebagian selanjutnya, Perjalanan turun dan mimpi buruk
0 Response to "Perjalanan Ke Puncak Sulawesi : Bagian Tiga"
Posting Komentar