MENYALA SEPERTI NAYLA, PENDAKI BELIA DI JALUR YANG TERLUPAKAN





Sangat meragukan,

Itu yang pertama terlintas dalam pikiran saya ketika memperhatikan gadis kecil berwajah hitam manis ini yang tampak kelelahan sekali, padahal saat itu proses hiking baru saja dimulai, jangankan setengah etape, sepersepuluhnya saja belum terlewati, wajah Nayla, gadis kecil hitam manis, usia 9 tahun itu sudah memerah dengan mimik kelelahan yang tampak amat memelas.

�� minumnya jangan langsung banyak mbak Nayla, sedikit sedikit tapi teratur��

Saya menegur cara minum Nayla yang tampaknya begitu terburu lantaran haus dan kelelahan, seakan seisi botol air mineral itu ingin diteguknya sekali minum.

Saya bukan yang paling ekspert dalam perjalanan pendakian kali ini, namun pengalaman sedikit banyak mengajarkan saya bagaimana mengatasi, mencegah, mempersiapkan, juga mengatur kondisi fisik saat melakukan sebuah perjalanan pendakian gunung, dan ritme serta cara minum juga merupakan salah satu yang sangat perlu untuk diperhatikan.

Minum dengan terburu dan dalam jumlah yang banyak sekaligus, bukanlah cara yang bijaksana dan efektif dalam pendakian gunung, selain dapat menimbulkan resiko kram perut saat berjalan, cara minum seperti ini juga tidak akan mampu mencegah rasa haus dalam waktu yang panjang. Satu satunya cara yang paling efektif untuk tetap menjaga tubuh dari dehidrasi dan dahaga adalah dengan minum secara teratur, beritme, dan dalam jumlah yang sedikit.

Saya biasanya minum setiap lima menit sekali, atau kadang sepuluh menit sekali, dan setiap kali minum pun dibatasi hanya satu teguk atau dua teguk saja. Jika telah mencapai suatu tempat dan akan mengambil waktu untuk a little long rest in track, misalnya istirahat untuk makan cemilan, biscuit, atau aktifitas lain yang akan membuat waktu istirahat bisa diatas 15 menit, maka saya memperbolehkan diri saya untuk minum beberapa teguk air dalam satu kali waktu minum.

Dan Allhamdulillah, metode yang saya gunakan ini cukup berhasil, tidak menjadikan saya sebagai yang paling tangguh dalam setiap pendakian, tetapi setidaknya bisa membuat saya tetap stabil dengan endurance yang terjaga dalam menempuh medan sulit dan panjang.

�� sedikit lagi kok mbak Nayla, itu hutan pinusnya sudah sangat dekat, dibelakang itu nanti sudah sampai kita di Watu Alap � Alapnya��

Sambung saya kembali kepada Nayla, ia tak menjawab, tidak juga tersenyum. Rasa lelah diantara nafas yang tersengal, ditambah pula dengan kesan bahwa saya adalah orang asing, menjadikan sedikit kalimat motivasi saya untuk Nayla tidak begitu menarik untuk ia perhatikan.

Nayla adalah peserta termuda dalam perjalanan kali ini, usianya baru menginjak kelas empat sekolah dasar. Ia ikut dalam pendakian kali ini bersama ibunya, mbak Tri, yang juga merupakan sosok yang masih sangat asing dalam dunia hiking dan pendakian gunung.

Hampir saat itu saya berani bertaruh, bahwa Ibu dan anak ini, juga mbak Setyo, dan mbak Vin, yang juga ikut hiking membelah jalur kuno Merapi ini tidak akan bertahan lama, paling jauh mereka hanya akan menyerah di Watu Alap Alap, untuk kemudian mundur dan berbalik arah.

Karena seperti yang saya katakan diawal, ekspresi dan mimik wajah mereka baru satu kilometer perjalanan saja sudah sangat memprihatinkan, sangat meragukan.

Nayla si pendaki cilik berjalan paling depan


Kesan Yang Patah 

Jalur yang kami tempuh kali ini adalah rute pendakian gunung Merapi dari sisi barat, yaitu jalur dari kampung Babadan. Sebenarnya jalur ini merupakan jalur kuno, jalur yang sudah hamir lima belas tahun tidak digunakan lagi untuk mendaki ke puncak Merapi. Luapan awan panas dan semburan lava yang meluluh lantakkan hutan pinus Babadan, juga jalur pendakiannya, menjadikan jalur yang sangat eksotis ini terlupakan, tidak banyak pendaki yang meliriknya lagi, keindahan, eksotisme, panorama surga yang ditawarkan oleh rute pendakian Babadan, seolah terkubur bersama puing � puing kengerian dan keganasan bekas letusan gunung Merapi.

Saya sudah beberapa kali mendengar tentang jalur ini, anda tahu itu sangat membuat saya penasaran, sehingga sekitar sebulan sebelum melakukan pendakian bersama ini, saya telah menjajalnya secara solo lebih dulu, dan hasilnya saya tersasar tiga kali sebelum menemukan rute yang benar, dan kemudian terpaksa harus berbalik arah sebelum azan sholat Jum�at berkumandang.

Kemudian tiba tiba ide untuk membuka jalur Babadan ini kembali datang dari klub pendaki Dhemit Gunung kota Muntilan, ia mengajak saya untuk ikut berpartisipasi di dalamnya.

Tentu saja tawaran ini tidak mungkin saya tolak, mendaki puncak gunung teraktif di dunia dari jalur yang paling mempesona dengan beragam cerita dan kisah memukau didalamnya, bersama group pendaki paling solid yang saya kenal, tentu bukan suatu hal yang ingin saya lewatkan begitu saja. 

Dhemit Gunung mungkin memang memiliki konotasi yang buruk untuk orang yang belum mengenal mereka secara dekat, nama group yang aneh, ( dhemit dalam bahasa Jawa berarti hantu ), orang orangnya yang kadang berlaku konyol, dan dandanan baju yang serba hitam membuat citra keseraman mereka semakin terpancar. Namun kesan ini perlahan akan pudar jika kita masuk kedalamnya lebih jauh, apa yang saya temukan membuat saya harus mengatakan respect dan hormat pada group yang awalnya saya kira hanya kumpulan anak anak kurang kerjaan yang kebetulan saja suka naik gunung ini.

Sifat kekeluargaan, gotong royong, kesederhanaan, saling menasehatkan sangat kental dalam group ini. Tingkah mereka yang kadang terlihat kasar di lapangan, menjadi tak berbekas sama sekali jika sedang dalam balutan peribadatan. Contoh nyatanya adalah ketika si wajah cahaya, puteri saya, Islamedina meninggal dunia sekitar enam bulan yang lalu, Dhemit Gunung dan hampir semua anggotanya takziyah ke rumah, ikut tahlilan, ikut mengantarkan ke makam, ikut pula mendoakan, serta ikut pula membantu apapun yang bisa mereka kerjakan, dan itu berturut turut tiga hari lamanya, padahal saat itu saya bukanlah bagian dari mereka.

Dan di Dhemit Gunung ini pula lah saya berjumpa pendaki cilik Nayla, yang karena ibunya bersahabat baik dengan beberapa anggota Dhemit Gunung karena sama sama berprofesi sebagai guru sekolah, sehingga pada hiking kali ini di jalur kuno Babadan yang terlupakan, Nayla dan ibunya ditawari untuk ikut serta.

**
 
Ketika sampai Watu Alap � Alap, saya jadi ikut terpengarah melihatnya, ternyata Nayla tidak menyerah, ia memilih lanjut berjalan, lanjut mendaki, bersama sebuah daypack kecil di punggungnya, Ia memilih untuk terus melangkah lebih jauh.

Kesan saya yang tadinya meragukan kemampuan Nayla tampaknya akan segera terpatahkan, saya jadi malu sendiri, meskipun nafasnya masih tersengal kelelahan, tampak jelas sebuah sinar telah terbit dari wajahnya yang manis, sinar semangat dan sinar untuk terus berjuang dan melangkah. 

Sambil garuk garuk kepala saya bergunam sendiri ;

�� ini salah satu yang saya suka dari bertualang di alam bebas, selalu bisa mengajarkan sesuatu yang lingkungan sekolah pun kadang tak bisa ajarkan, pelajaran berjuang, dan pelajaran untuk terus memiliki semangat dan mental yang pantang menyerah��

Nayla tetap melangkah dengan semangat pantang menyerah menempuh rimba di jalur sisi barat gunung Merapi



Keep Moved Mom�

Setelah melewati beberapa punggungan gunung yang teduh dengan banyak pohon rindang disekelilingnya, juga melipir sebuah pinggiran jurang yang cukup dalam, lintasan kami mencapai sebuah tempat terbuka dengan sebuah jurang berisi batuan dan pasir menbentang didepannya. Pada beberapa tulisan tentang jalur Babadan sebelumnya, saya menyebut tempat ini sebagai Kali Gesik atau sungai Pasir.

Nayla tampak tidak goyah dengan rintangan yang ada dihadapannya, mendaki gunung dan hiking tentu saja menjadi sesuatu yang baru buatnya, karena ini merupakan kali pertama ia melakukannya, namun saya tidak melihat adanya bentuk ketakutan dibalik sorot matanya yang polos sewaktu menyaksikan alam liar yang sekarang ada dihadapannya. 

Kali Gesik ini cukup memukau, bahkan untuk orang yang sering melihat bentang alam luar biasa seperti saya ini. Dengan lebar sekitar dua puluh meter di beberapa sisi, kedalaman yang mencapai sepuluh hingga lima belas meter dengan tebing cadas yang memagarinya, belum lagi sepanjang aliran badan bekas sungai lahar ini yang dipenuhi dengan pasir dan batuan ukuran raksasa, mengundang decak kagum sekaligus ketakutan dan kengerian tersendiri.

Kami tiba ditempat ini sekitar jam setengah satu siang, dan saya tahu beberapa anggota pendakian tampaknya sudah tidak memiliki kekuatan untuk melangkah lagi. Tidak hanya beberapa anggota team perempuan yang menunjukkan keengganan untuk meneruskan langkah, beberapa pendaki lelaki juga tampaknya mulai mengalami krisis tekad untuk kembali mengarungi medan menanjak terjal didepan mata yang entah seberapa jauh lagi jaraknya.

Mbak Tri, ibunya Nayla sudah jelas sekali menunjukkan rasa lelah dan mungkin mulai malas melanjutkan langkah mendaki, Mbak Setyo yang bertubuh mungil pun demikian, mulai memikirkan untuk memutar langkah kakinya, mbak Vin yang bertubuh lebih bongsor tampaknya juga tidak memiliki ketertarikan lagi untuk melanjutkan pedakian. 

Tampak jelas sekali hanya Nayla diantara keempat srikandi itu yang masih memiliki spirit dan semangat baja untuk terus menjejakkan kaki mungilnya di jalur jalur terjal bebatuan kali gesik. Semakin lama, anak umur sembilan tahun ini membuat saya kian kagum, wajah memelas dalam nafas lelah tersengal yang saya lihat tadi pagi sudah tidak tampak lagi, sekarang hanya ada spirit dan semangat di sinar mata Nayla, untuk terus go and go on, untuk terus keep moved�

Sebenarnya peserta perempuan dalam pendakian kali ini berjumlah enam orang, namun dua orang lagi, mbak Fadil dan mbak Ice sudah berjalan lebih jauh bersama tujuh teman pendaki lainnya di regu depan. Mbak Ice dan mbak Fadil memang sudah beberapa kali mendaki gunung sebelumnya, sehingga perjalanan seperti ini bukan hal yang baru lagi buat mereka.

�� Ayo jalan lagi bu�, mendaki lagi�� 

Rengek Nayla kepada mbak Tri yang duduk berselonjor diatas pasir.

�� Kita putar balik saja ya, ini kabut, mungkin nanti akan turun hujan, jangan sampai kita kemalaman sampai kampung dibawah tadi�, �

Jawab Mbak Tri kepada Nayla, sambil matanya memandang berkeliling berusaha menunjukkan situasi kabut yang mungkin bukan pertanda baik buat cuaca pendakian.

Nayla, si pendaki cilik tampak sedikit kecewa mendengar jawaban ibunya, keinginan untuk terus menanjak jalur kuno Merapi sepertinya harus berakhir di Kali Gesik ini.

Dan karena ini merupakan pendakian pertama dalam upaya pembukaan kembali jalur Babadan Merapi, sesuai kesepakatan, kami memang telah memutuskan untuk membatasi waktu hanya sampai jam satu atau jam dua siang saja. Selain jalur tempuh yang masih misteri, rute yang masih tidak bisa diprediksi, kami juga sama sekali tidak mempersiapkan diri untuk dapat bermalam di gunung, jangankan untuk bermalam, untuk kemalaman saja kami tidak siap. Tidak ada senter, headlamp dalam masing masing tas anggota pendakian, alih alih membawa tenda, sleeping bag, dan kebutuhan kemping lainnya.


Nayla menyusuri Kali Gesik bekas jalur lahar dingin di jalur pendakian Babadan


Refleksi Yang Sempurna

Apa yang terjadi dengan Nayla merupakan sebuah contoh kecil refleksi yang sempurna tentang segala yang saya yakini selama ini mengenai menjelajah dan berkegiatan di alam bebas.

Alam selain sebagai mayapada tempat kita berdiam diri juga merupakan seperangkat element grandmaster yang mampu menempa seseorang menjadi pribadi yang tangguh dan kuat, mampu membentuk mental seseorang yang sebelumnya pesimis dan lemah, menjadi seorang bermental pejuang dengan rasa optimis yang kuat.

Saya juga seorang ayah, saya juga memiliki puteri seorang gadis kecil yang cantik, meskipun saat ini Islamedina telah berada di surga, namun saat ia masih bersama saya di dunia ini, harapan yang saya miliki untuk Islamedina juga mungkin tidak jauh berbeda dengan harapan para ayah lain terhadap puterinya..

Saya tidak mengharuskan Medina menjadi yang terpintar dikelasnya, menjadi yang tercantik diantara sebayanya, atau pun menjadi yang paling populer diantara anak anak lainnya di kemudian hari. Sebagai seorang ayah yang memiliki kewajiban untuk memberikan rasa aman dan rasa nyaman kepada anaknya, saya hanya menginginkan Islamedina menjadi sosok yang tangguh, yang kuat, yang memiliki semangat juang dan mental baja. Dan sebagai orang yang telah hampir lima belas tahun suka mendaki gunung, saya sedikit banyak menyadari, bahwa salah satu upaya paling efektif untuk mengajarkan seorang anak tentang karakter yang kuat dan pribadi yang tangguh, adalah dengan membuatnya akrab bermain di alam bebas.

Dan karena itu pula, sebelum ia meninggal di usianya yang baru 27 bulan, saya telah banyak membawa Islamedina bertualang di alam bebas. Saya mengajak Medina untuk bersama sama dalam gendongan saya melompati batu batu sungai Belan yang bergemuruh, menuntun Medina menapak tangga Ketep Pass yang puluhan banyaknya, juga membasuhkan kaki Medina dengan air terjun Kedung Kayang yang suaranya menggelegar menakutkan, selain sebagai golden time saya bersama Medina, secara tidak langsung ini pulalah metode saya untuk menjadikan Islamedina sebagai sosok yang tangguh dan bermental pejuang.

Kemudian cermin refleksi ini saya lihat pada diri Nayla tempo hari, ia memiliki kans untuk menjadi anak yang sangat tangguh dan bermental kuat, kesulitan yang ia hadapi diawal pendakian, bukan melumerkan tekadnya, malah menjadikannya semakin membara. Gemerisik daun jalur kuno Merapi, batuan batuan cadas yang merintangi jalan, hembusan angin yang menidurkan keresahan di daun telinga, seolah tampak dengan jelas menyalakan semangat dan tekad Nayla untuk melangkah dan melangkah lagi, untuk terus berjuang dan berjuang lagi.

Jika Nayla terus mendaki gunung, terus bermain di alam bebas, ia mungkin tidak akan menjadi pendaki tercepat seusianya, tidak akan menjadi pendaki paling terkenal di Indonesia seumurannya, dan mungkin tidak pula akan menjadi pendaki cilik dengan koleksi puncak terbanyak dalam biografinya, Namun satu yang pasti, satu yang akan sangat nyata, bahwa perjalanan kakinya dalam pasir berbisik dilereng Merapi, belaian  tangan mungilnya dalam embun embun sejuk yang menetes didedaunan jalur Babadan yang terlupakan, juga pandangan matanya yang antusias melihat kelopak bunga liar gunung warna merah yang mekar, burung burung liar yang terbang bebas, juga batuan cadas yang terdorong oleh bekas aliran lahar dingin yang tercurah, itu semua akan menjadi seperangkat tools baginya untuk menjadi semacam lempeng lempeng pembentuk mental juang dan karakter bajanya, yang Insya Allah juga di kemudian hari akan pula memiliki andil signifikan dalam membentuk kearifan dan kebijaksanaan dalam langkahnya yang panjang.

Pada hakikatnya inilah yang saya impikan dalam sosialisasi tentang pendakian gunung dan bertualang di alam bebas, kegiatan semacam ini bukanlah sesuatu yang percuma dan sia sia, bukanlah kegiatan yang zero manfaat. Dengan arahan yang tepat, dengan safety procedure yang tetap dipegang erat, dengan pemahaman dan penghayatan yang kadang tidak terlihat, secara tidak sadar ini akan menjadi compartment � compartment yang ampuh untuk menimpa jiwa jiwa ksatria yang kuat, berani, dan juga tangguh..

Semoga Nayla nantinya masih memiliki kesempatan untuk menuntaskan jalur Babadan ini hingga ke puncak Merapi, semangatnya yang menyala bahkan ikut mengajari saya yang usianya hampir kepala tiga ini. 

Nayla memang belum menyentuh puncak Merapi pada pendakiannya yang pertama kemarin, namun saya yakin ini akan menjadi semacam gerbang buatnya untuk dapat memantulkan segala kesulitan yang ia lihat sebagai sebuah kesempatan untuk berjuang lebih kuat dan lebih kuat lagi.

Dan ini saya yakin akan membuat beberapa orang kian bangga padanya.

Congratulation Nayla, jiwa pendaki sejati telah mulai bersemi dalam jiwamu yang masih belia�


Membimbing Islamedina melangkah 
Selain akan membangun hubungan yang dekat antara ayah dan puterinya, berkegiatan di alam bebas juga membangun mental juang dan karakter yang kuat untuk sang anak, setidaknya itu yang saya yakini.



Salam.












0 Response to "MENYALA SEPERTI NAYLA, PENDAKI BELIA DI JALUR YANG TERLUPAKAN"

Posting Komentar