MENCARI TUHAN DI KETINGGIAN DAN MASJID UNTUK ANATOLI BOUKREEV






Belum sepenuhnya terjawab

Saya suatu kali sempat bertanya kepada seorang sahabat, ia adalah seorang alumni dari sebuah pesantren, saya mengenalnya saat ia bertugas menjadi imam untuk bulan Ramadhan di masjid Nurul Ikhsan, di kota Sangatta, Kalimantan Timur. 

Saya lupa nama sahabat ini, namun beliau adalah seorang hafidz Al qur�an, bacaan tartilnya saat mengimami sholat sungguh nyaman didengar, dan tentu saja keilmuannya dalam urusan agama Insya Allah cukup baik, mengingat ia adalah seorang alumni salah satu pondok pesantren terkemuka. 

Di masjid Nurul Ikhsan ini, dan mungkin masjid masjid lainnya juga, memang ada sebuah kebiasaan untuk mendatangkan imam khusus selama bulan Ramadhan, yang tugas utamanya adalah mengimami sholat tarawih, dan juga kadang sholat sholat fardu lainnya.

Imam ini biasanya berjumlah dua orang, dan usia mereka masih muda. Dalam mengimami sholat tarawih mereka biasanya membaca ayat ayat dari surat yang bagi telinga orang awam mungkin terdengar � asing �. Yang saya maksud dengan kata � asing � adalah karena ayat ayat atau surah tersebut bukan yang biasa kita dengar ketika sholat sehari hari. Kan seringkali saat kita sholat di masjid, yang kita dengar bacaannya hanya seputarJuz Amma saja, atau seputar empat hingga lima halaman terakhir Al Qur�an, seperti surat Al Ikhlash, An Nash, Al Falaq, Al Kautsar, Al Ashr, dan surat surat pendek lainnya.

Nah imam imam muda ini, karena mereka hafal Qur�an, tentu mereka bisa membaca surat mana saja yang mereka suka pada saat mengimami sholat, hal itu pada telinga orang awam, termasuk pula saya yang juga masih sangat minim dalam mempelajari Al qur�an, jarang membuka Al qur�an ( semoga Allah mengampuni dosa saya ) merasa asing kadang kadang mendengar bacaan mereka.

Hei., ini surat apa ya..?

Oh ini mungkin surat Al Kahfi �

Wah kok bacaannya enak banget, surah apa sih ini..?

Dalam hati yang masih jauh dari kekhusyuan kadang saya bergunam mendengar lantunan ayat ayat suci kitabullah yang mereka bacakan tersebut, yang beberapa diantaranya, terdengar sangat indah hingga tanpa sadar mejatuhkan air mata disudut wajah.

Kemudian pada salah seorang imam inilah saya bertanya, sebuah pertanyaan yang hingga pun sekarang, masih sering membayangi benak saya, meskipun saya mungkin telah menemukan beberapa pelita yang akan menuntun saya ke sebuah jawaban yang sebenarnya.

Inilah pertanyaan saya, tidak jauh dari dunia mendaki gunung yang sering kita geluti.. ;

�� Pak Ustadz, saya kadang kan suka naik gunung nih, nah bagaimana seumpama jika kematian datang kepada saya pada saat saya mendaki gunung. Termasuk jenis kematian apakah yang saya dapatkan itu, mati konyol kah, atau mati yang bagaimana, lantas bagaimanakah sebenarnya islam memandang jenis kegiatan yang seperti mendaki gunung ini �? �

Saya tidak akan menuliskan jawaban Ustadz itu disini, yang pasti jawabanya saat itu tidak membuat saya berhenti dari bertanya.

Sekarang mungkin saya akan mencoba mengajukan pertanyaan tersebut kepada teman teman pendaki yang mungkin meluangkan waktu membaca tulisan sederhana di blog kita ini. Silahkan sahabat jawab di kolom komentar nanti, saya sungguh mengapresiasinya jika sahabat berkenan sekedar memberi tanggapan�

***
  

CATATAN PENTING 

Namun sebelum saya melanjutkan tulisan ini, saya ingin memohon maaf jika ada sahabat pendaki yang mungkin berbeda keyakinan dengan saya.

Sahabat yang beragama selain Islam mungkin bisa menyesuaikan serta menganalogikan dengan kitab dan ajarannya masing masing, jika pada tulisan ini saya sebut Al Qur�an, mungkin teman teman yang beragama kristiani bisa membayangkan bible, sahabat yang beragama hindu bisa membayangkan tripitaka, sahabat yang beragama budha bisa membayangkan weda, sahabat yang simpati kepada Judaism bisa membayangkan Talmud, atau pun sahabat yang menganut paham atheis, silahkan sahabat bayangkan sesuatu yang sahabat yakini sebagai kebenaran.

Saya pribadi harus dan sudah semestinya, tidak bisa tidak, jika membicarakan sesuatu yang berkenaan dengan aqidah dan keyakinan. Maka itu haruslah bermuara serta bersandarkan pada ajaran islam, kepada Allah SWT, kepada Dzat Yang Maha Mutlak. Karena di-Sanalah kebenaran akan ada, dan jawaban akan dapat, jika beralih dari sandaran tersebut, maka tentu bukan jawaban yang akan saya dapat, hanya akan ada  kegelisahan, yang ujung ujungnya akan menjauhkan saya dari tuntunan agama yang mulia ini.

Jadi sekali lagi saya mohon maaf, jika ada sahabat pendaki yang membaca tulisan ini, dan berbeda keyakinan dengan saya, silahkan sahabat sesuaikan dengan keyakinan sahabat, moga moga sahabat diberi ketenangan dan kedamaian.

***


 Jika tiba tiba mati menjemput kita di gunung, jenis kematian apakah itu sebenarnya, apakah ini mati konyol..?

Jangan berhenti bertanya

Di bulan Ramadhan yang penuh keberkahan ini, menjadi waktu yang tepat bagi kita untuk menyelami berbagai hal yang mungkin erat kaitannya dengan prinsip ke-Tuhanan dan pengabdian, merenungi perjalanan kehidupan dan juga kematian, memikirkan hakikat penciptaan dan juga tujuan sesungguhnya dari semua roda dunia yang kian tua ini.

Saat hampir seratus orang meregang nyawa di dinding The North Facegunung Eiger, menurut anda kematian jenis apa yang mereka peroleh, untuk apa, apakah mereka akan menjangkau surga, seperti impian mereka untuk mencapai puncak Eiger..?

Ketika David Sharp tergeletak tak bernyawa di punggung Everest dengan tas Berghaus barunya yang masih menempel, dilewati hampir tiga puluhan pendaki tanpa ada yang menolongnya, bagaimana menurut anda kematian yang menimpa salah satu pendaki ini, yang kasusnya saat itu sempat membuat geger dunia mountaineering beberapa lama..?

Dengan rasio kematian di K2 yang begitu tinggi, mencapai 80:20 ( dari 100 orang yang mendaki hanya 20 yang bisa mencapai puncak ), namun orang orang tetap mendatanginya, kemudian maut menjemput mereka disana, menurut anda bagaimana kematian yang mereka dapatkan itu�?

Mendengar beberapa pertanyaan yang mungkin terdengar konyol dan mengada ada ini, beberapa orang yang menganut paham masa bodoh mungkin akan segera menutup laman ini, dan itu tidak mengapa. Pertanyaan akan tetap menjadi pertanyaan jika kita tidak berusaha mencari jawabannya, kegelisahan akan tetap menjadi kegelisahan jika tidak berusaha mencari dimanakah letak obatnya.

Orang orang bisa berpendapat dan juga meniru beberapa ucapan populer mengenai kematian di gunung ini ; 

Di gunung kita bisa mati, di tempat tidur pun kita bisa mati, jadi mengapa harus khawatir naik gunung..?

Kita adalah pendaki gunung, tidak pantas bagi kita untuk mati di tempat tidur�

Naik gunung atau tidak, tidak akan menghentikan kita dari kematian..

Tentu tidak ada yang salah dengan semua kalimat populer seperti itu, namun untuk seorang muslim, orang yang meyakini bahwa masih ada kehidupan akhirat setelah dunia, meyakini akan ada penghakiman yang Maha adil di hari kemudian, meyakini bahwa kematian adalah gerbang menuju kehidupan yang abadi, meyakini bahwa Allah SWT akan menghisab segala sesuatu yang kita kerjakan, bahkan hingga pun hal yang paling sepele. Maka kematian bukan hal yang bisa dipandang sebelah mata, pengertian dan prosesnya memang sederhana, namun implikasinya adalah sesuatu yang akan menentukan tujuan kita selanjutnya.

Sebagai seorang yang telah diberitahu bahwa segala sesuatu ada konsekwensinya, segala prilaku baik dan buruk akan ada catatan amalnya, bahwa tidak ada manusia yang menanggung dosa orang lain, tidak ada pula dosa turunan, serta bahwa semua manusia adalah sama dihadapan Tuhan. Tentu menjadi sangat penting bagi kita buat melakukan segala sesuatu di dunia ini untuk sebuah alasan yang benar, benar secara syariah yang telah Allah SWT turunkan dalam al qur�an. 

Dan itu mencakup juga kegiatan kita yang kita sukai, yaitu mendaki gunung, kita seyogyanya melakukan hal ini untuk sebuah alasan yang benar, alasan yang benar untuk mendaki gunung.

Sekarang pertanyaannya ;

Apa sih alasan yang benar untuk mendaki gunung�?

Dan saya yakin, kita akan sangat sulit menemukan jawaban yang sepakat mengenai hal ini.

Namun ada sebuah tolak ukur yang paling simple untuk melihat setidaknya dari sudut pandang kita sendiri, apakah mendaki gunung, menempuh rimba, mengayuh samudra yang selama ini kita lakukan sudah memiliki alasan yang benar ataukah belum. 

Tolak ukur tersebut adalah apakah semua kegiatan tersebut, semua aktifitas tersebut, menjadikan kita menjadi pribadi yang lebih baik, ataukah sebaliknya�? 

Apakah dengan mendaki gunung kita menjadi lebih taat kepada Allah, lebih baik hubungan kita pada-Nya..? ataukah malah menjadikan kita lebih lalai, lebih berantakan sholatnya, lebih banyak lupa akan hak hak Allah atas diri kita..?

Apakah dengan mendaki gunung kita merasa menjadi pribadi yang lebih rendah hati, lebih menjaga diri dari perbuatan buruk�? Ataukah malah dengan mendaki gunung membuat kita menjadi sosok yang suka hura hura, mengacuhkan nasehat orang tua, gemar pamer foto di sosial media, gemar pamer merek dan peralatan untuk menunjukkan strata sosial di jalur pendakian�?

Kita tentu bisa memperpanjang pertanyaan ini dengan berbagai macam kalimat lanjutan, namun tolak ukur sederhananya adalah, apakah semua kegiatan ini mejadikan kita lebih baik, ataukah lebih buruk, dan pastinya hanya Allah SWT dan diri kita sendirilah yang mampu menjawab semua pertanyaan itu dengan jujur dan tanpa mengada ada..

***

 Jika dengan mendaki gunung menjadikan kita pribadi yang lebih taat kepada Allah SWT, mungkin alasan kita sudah benar melakukannya.


Masjid untuk Anatoli Boukreev

Sebelum saya menutup tulisan ini, saya memohon doa kepada sahabat semua, Insya Allah saya akan menulis sebuah buku mengenai hal yang baru saja kita bicarakan di atas, semoga Allah SWT memberi kelancaran dan kemudahan dalam proses menulis dan juga menerbitkannya nanti.

Terakhir, saya ingin mengajak kita mengingat kembali sejarah yang shahih ini ;

Ketika Nabi Musa AS naik ke bukit Tursina, untuk menyendiri dan bermunajat,  Allah menurunkan Taurat dan tuntunan kepadanya dan juga kaumnya.

Ketika nabi Ibrahim AS menyendiri dan merenungi sempurnanya penciptaan alam semesta ini, ia menyaksikan bintang, bulan dan matahari, kemudian Allah anugrahkan kepadanya cahaya untuk mengenal Tuhan Yang sesungguhnya.

Dan, ketika Rasulullah Muhammad SAW bertahanuts ( menyendiri, berpikir, merenung, berdoa ) di Gua Hira, yang letaknya diatas sebuah bukit. Kemudian Allah SWT anugrahi cahaya untuknya, sebuah cahaya untuk semua umat manusia, cahaya islam yang Allhamdulillah telah menjadikan kita mulia saat ini.

Intinya, dari ketiga pristiwa untuk Nabi Musa AS, Nabi Ibrahim, dan Rasulullah Muhammad SAW tersebut. Bahwa kita belajar jika berpikir, merenung, dan �membaca� alam semesta dari puncak gunung adalah sebuah aktifitas positif, bukan perbuatan sia sia, selama ia digunakan untuk mengintrospeksi diri dan bermuhasabah, dan semoga Allah SWT juga menganugrahi hati kita dengan cahaya.

Jangan membayangkan cahaya untuk kita seperti cahaya untuk para rasul tesebut, cukuplah untuk kita Allah anugrahi hati yang taat dan penuh istiqomah, hati yang terbuka dan mudah menerima kebenaran dan kebaikan, hati yang membuat kita ingin menjadi manusia yang banyak menebar kebaikan dan manfaat untuk sesama.

Jika sudah begini, saya sepakat sekali dengan apa yang dikatakan oleh Anatoli Boukreev, pendaki super tanpa tabung oksigen yang merescue tiga nyawa dalam tragedi Everest 1996 ;

� Seumpama masjid ( anatoli menyebutkan kata temple ), gunung menjadikan saya lebih khusyu� dan tenang dalam beribadah��

Saya sepakat dengan kalimat Anatoli, namun saya melihatnya dari sudut pandang seorang muslim..



Salam.






0 Response to "MENCARI TUHAN DI KETINGGIAN DAN MASJID UNTUK ANATOLI BOUKREEV"

Posting Komentar